Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
I am the eye in the sky
Looking at you
I can read your mind
I am the maker of rules
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASANYA tak ada yang jumawa dalam lagu Alan Parsons Project ini; kata-kata itu diucapkan dengan sayu. Tapi menjadi “mata di angkasa”—yang selalu menatap kita dan membaca pikiran kita—adalah = kekuatan yang menakutkan. Dalam pelbagai narasi yang bengis, sejarah politik manusia mencatat paduan kata “Melihat—Mengetahui—Menguasai”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dongeng Yunani dikenal cerita Argus. Ia raksasa yang ditugasi Dewi Hera, yang pencemburu, untuk mengawasi Io, seorang perempuan bumi yang dihasratkan Dewa Zeus, suaminya. Maka Argus, yang diberi julukan Panoptes, “yang serba melihat”, tak pernah lepas dengan 100 matanya memantau Io.
Dongeng ini, meskipun tak kita kenal di sini, mencerminkan keinginan juga kecemasan manusia akan kemampuan “Melihat—Mengetahui—Menguasai” orang lain. Hanya setelah Argus dibunuh dan dicungkil matanya Io bebas. Tapi hanya kemampuan dewa-dewa yang sanggup mengakhiri kuasa “panoptes” dalam dongeng ini. Manusia tidak. Malah tiap kali Argus dilahirkan kembali dalam pelbagai versi. Manusia memerlukannya sebagaimana membencinya.
Cukup dikenal di abad ke-20 ada versi baru Argus yang ditulis George Orwell. Novel 1984 adalah kiasan tentang masyarakat totaliter yang oleh Orwell, ketika menulis novel ini di tahun 1940-an, dicemaskan akan berkuasa di dunia, sebagaimana Komunisme di Rusia dan Naziisme di Jerman. Dalam fiksi ini, di negeri yang disebut Oceania, Negara, seperti Tuhan, selamanya curiga. Dari kamera tersembunyi di dalam rumah sampai dengan intipan anak tetangga dan anak sendiri, dapat diketahui pikiran dan perilaku apa saja. Bahkan buku catatan dianggap subversi. Orang tak berani berkata beda dan berpikir lain: ada “Polisi-Pikiran” yang akan menangkapnya.
Sungguh berbahaya jika kita biarkan pikiran kita ke sana kemari ketika berada di tempat umum atau dalam jangkauan layar pemantau. Hal sekecil apapun akan membongkar kita: gerak refleks yang gugup, tatapan yang waswas, kebiasaan bergumam—
Pendek kata, di bawah rezim yang selalu mengumumkan keadaan perang, warga diletakkan dalam bangunan penjara seperti yang dicita-citakan Jeremy Bentham: di menara tingginya ada mata Argus Panoptes. Para tahanan, para penghuni, selalu merasa diamat-amati, meskipun sebenarnya tidak. Tumbuh kepatuhan, terbentuk disiplin, tanpa dicambuk dan dihardik. Teror bertaut dengan imajinasi.
Masyarakat akan dengan mudah ditata—dan itulah yang menggoda banyak orang dengan “mimpi politik” membangun rezim panoptikon yang efektif, mampu cepat Melihat-Mengetahui-Menguasai. Terutama di masa pandemi. Foucault mengingatkan di Eropa di abad ke-17, kecemasan akan wabah jadi pangkal lahirnya “mimpi politik” itu. “Agar disiplin berfungsi dengan sempurna”, tulis Foucault dalam Surveiller et punir, “para penguasa memimpikan keadaan wabah”.
Kini, kondisi “ideal” itu—ada kecemasan akan wabah dan ada gairah mengontrol—bertemu di RRT. Ribuan kamera memantau rakyat, merekam wajah mereka, mengorek perilaku hidup mereka. Tak mengherankan bila alat pemantau dipasang di depan rumah penduduk yang baru datang dari wilayah yang terkena Covid-19. Orang yang diduga terpapar virus akan diikuti, dan jika melanggar isolasi akan ditahan.
Tentu kesempurnaannya tak seperti dibayangkan Orwell. Dan tak mudah ditiru. RRT yang dikendalikan Partai Komunis sejak 1949 sudah terbiasa hidup dalam sistem Oceania.
Di Indonesia, dengan pandemi panjang ini, bisa saja ada yang ber-“mimpi politik” dengan hasrat Melihat-Mengetahui-Menguasai. Atau sebaliknya, membayangkan diri, dengan dramatis, dalam kuasa “panoptikon”. Saya tak yakin apakah itu mungkin. Indonesia tak mampu membangun menara Bentham—meskipun terkadang berniat mendirikan kekuasaan otoriter. Jaringan birokrasinya bak anyaman bambu yang alot dan ruwet tapi bolong-bolong. Dalam demokrasinya yang meriah, pemerintahan sering dipilih bukan karena efektivitasnya, melainkan karena keramah-tamahannya.
Pada akhirnya, problem penting politik kekuasaan ada dalam asumsi Argus.
Bahkan di abad ke-21 ini ia tak lagi bisa dimonopoli. Majalah The Economist 7 Agustus 2021 membuat laporan pendek tentang “panoptikon rakyat”: telah datang era OSINT (Open Source Intelligence). Kini informasi yang gawat tak lagi cuma dikuasai dinas rahasia Negara. Kini bahkan mahasiswa yang belum lulus sanggup mendapatkannya dengan memanfaatkan sumber-sumber yang bisa diakses siapa saja di dunia maya. Akan terungkap senjata yang tak disiarkan, dana dan penyelewengan yang ditutupi.
Kita pun berharap akan hidup di zaman ketika rahasia mati....
Tapi tak jelas apakah itu kabar baik. Dalam novel 1984, tokoh utamanya yang malang, Winston, pernah bermimpi akan tiba di “tempat di mana tak ada gelap”. Ia akan lega. Tapi akhirnya ia sampai di tempat di mana ia terus-menerus disorot. Mudah dilihat, kata Foucault, adalah “jebakan”.
Tampaknya kita bisa bebas dari jebakan jika kita masuk dalam permainan gelap dan terang—seperti dalam wayang kulit Bali. “Mata di angkasa” akan hanya jadi dongeng yang asyik. Melihat tak harus menaklukkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo