Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNYATAAN Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tentang meroketnya jumlah kasus Covid-19 di negeri ini sebagai kondisi “darurat militer” membuat jagat maya menjadi damat. Di sela-sela kunjungannya di Hotel University Club Universitas Gadjah Mada, Pak Menko mengatakan, “Kan, sebenarnya pemerintah sekarang ini, walaupun tidak di-declare, kita ini dalam keadaan darurat militer. Jadi kalau darurat itu ukurannya tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, darurat perang. Nah, kalau sekarang ini sudah darurat militer.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Pak Menko itu menyeramkan bagi saya. Negeri-negeri kacau-balau. Kota berantakan. Pekikan bersipongang. Penjarahan di mana-mana. Pasukan militer dengan senjata lengkap berkeliaran; berjaga di sepanjang jalan. Begitulah gambaran jejaring kognitif atas “darurat militer” yang berkelebat di kepala saya.
Setidak-tidaknya ada tiga asumsi yang salah satunya berpeluang terjadi. Pertama, Pak Menko tidak memahami konteks “darurat militer”. Kedua, beliau kepeleset lidah. Ketiga, Pak Menko punya maksud lain—tentu saja maksud baik—yang tidak konvensional atas frasa “darurat militer”. Yang terakhir adalah asumsi apabila kita berhusnuzan sebagaimana yang dilakukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan rujukan paling konvensional dan mudah yang dapat kita gunakan untuk mengetahui arti “darurat militer”. Dalam KBBI, frasa itu diartikan “keadaan darurat suatu wilayah yang dikendalikan oleh militer sebagai pemimpin tertinggi”. Kita barangkali mengerti arti frasa itu, tapi belum mampu memaknainya. Pikiran kita masih mengambang. Kita bertanya-tanya: keadaan darurat seperti apa yang dapat membuat sebuah negara dikendalikan oleh militer? Mengapa harus militer?
Kondisi darurat merupakan konsekuensi dari keadaan bahaya yang terjadi dalam sebuah negara. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya menyebutkan tiga jenis kondisi darurat sebagai respons atas keterancaman negara, yaitu darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang.
Pasal 1 ayat 1 dalam perpu yang terbit pada masa transisi Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak secara eksplisit mendefinisikan dan membatasi setiap keadaan darurat. Di sana hanya diterangkan bahwa ketiganya dapat terjadi apabila: “1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; 2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan pemerkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun; 3. Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.”
Ketiga poin tersebut sama-sama mengandaikan kecenderungan pendekatan militeristik dari negara yang berpotensi merampas hak asasi warganya. Itulah dasar penentangan sejumlah netizen. Istilah yang diungkapkan oleh Pak Menko tidak berlandaskan pokok persoalan. Benar bahwa pasukan militer dilibatkan dalam usaha menurunkan angka positif Covid-19, tapi bukan berarti secara simultan darurat militer diterapkan oleh negara.
Sekalipun Pak Menko menutup pernyataannya dengan menerangkan “Bapak Presiden juga sudah mulai memerankan TNI-Polri itu karena pertimbangan kita ini sudah tidak bisa ditangani secara biasa. Ini betul-betul sudah hukum militer, lah, ya. Bukan hukum, ya. Ini daruratnya sudah darurat militer, hanya musuhnya memang bukan musuh militer konvensional”, pada kenyataannya negeri ini tidak betul-betul sedang berada dalam kondisi darurat militer. Mengapa mesti frasa “darurat militer” yang digunakan—sementara pasukan militer hanya diperbantukan dalam mengatasi permasalahan yang kita hadapi hari ini?
Yang diperangi oleh penduduk bumi saat ini, termasuk masyarakat Indonesia, adalah virus, SARS-CoV-2. Virus itulah yang mesti ditaklukkan, diputus rantai penyebarannya, secara bersama-sama oleh semua warga negara (dengan mengikuti vaksinasi, menaati protokol kesehatan, dan membatasi mobilitas), bukan hanya oleh pasukan militer. Sementara itu, “darurat militer” seolah-olah menunjukkan bahwa obyek yang mesti ditaklukkan adalah masyarakat (yang tidak mematuhi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat). Dengan demikian, mengatakan perang melawan Covid-19 sebagai “darurat militer” adalah kekeliruan.
Penting mengenap-enapkan lagi bahwa segala yang meluncur dari mulut pejabat akan meluas dengan cepat dan menimbulkan dampak psikologis tertentu pada berbagai lapisan masyarakat, yang memiliki tingkat pemahaman dan interpretasi beragam. Saya khawatir “darurat militer” berdampak pada peningkatan tindakan koersif dan represif yang dilakukan aparat kepada masyarakat—seperti penyemprotan lapak pedagang menggunakan mobil pemadam kebakaran di Semarang (7 Juli 2021), pemukulan pemilik kafe di Gowa (14 Juli 2021), dan kasus penyitaan di berbagai daerah—dalam upaya memutus rantai penyebaran Covid-19. Bukankah, selain sebagai cerminan cara berpikir, bahasa mempengaruhi cara berpikir (sekaligus bertindak) para penggunanya?
Bahasa kadang-kadang bisa membuat repot. Padahal, biar tidak repot, Pak Menko boleh-boleh saja kok menggunakan frasa “(ke)darurat(an) kesehatan masyarakat”, tapi, ya, terminologi ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang tidak terpakai melulu itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo