Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Untuk pertama kalinya sejak pandemi setahun lalu, Indonesia membukukan pertumbuhan positif pada kuartal II 2021.
Meski demikian, bahaya belum berlalu karena perekonomian sebenarnya belum sepenuhnya bergerak.
Di balik angka pertumbuhan ekonomi, jumlah penganggur dan tingkat kemiskinan masih tinggi.
BELUM saatnya pemerintah menepuk dada atas capaian pertumbuhan positif pada kuartal II 2021 sebesar 7,07 persen secara tahunan (year-on-year) di masa pandemi Covid-19. Bahwa telah terjadi pembalikan dari minus 0,74 persen pada kuartal sebelumnya tentu sesuatu yang baik dan harus dipertahankan. Namun keliru jika kita menganggap capaian itu menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia telah pulih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tahu pertumbuhan positif tersebut tidak lepas dari kontribusi efek dasar perhitungan yang rendah (low base effect). Dengan kontraksi ekonomi pada kuartal sebelumnya, setiap tren positif otomatis mendongkrak pertumbuhan di periode berikutnya. Negara-negara lain yang selama ini menjadi mitra dagang Indonesia juga membukukan pertumbuhan positif, bahkan sejak akhir tahun lalu. Perekonomian Cina dan Singapura tumbuh 18,3 persen dan 14 persen, Amerika Serikat bahkan tumbuh 12,2 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, ada soal yang lebih mendasar. Mengukur kualitas perekonomian dengan angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) saja tak sepenuhnya akurat. Angka itu tak sepenuhnya menggambarkan kondisi riil masyarakat: berapa orang yang kehilangan pekerjaan, berapa yang pendapatannya menurun atau bahkan jatuh miskin. Penghitungan PDB dari akumulasi konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, serta investasi dan ekspor bersih hanya berguna bagi pelaku pasar.
Karena itu, kebijakan yang dirumuskan demi mengejar pertumbuhan PDB semata berpotensi salah arah dan menguntungkan segelintir kelompok saja. Ketika pemerintah sibuk memperbesar kue ekonomi Indonesia, aspek pemerataan menjadi terabaikan. Terbukti, dari sejumlah indikator penting, ekonomi kita justru menunjukkan tren mengkhawatirkan: persentase penurunan angka kemiskinan melambat, angka pengangguran meningkat, dan kesenjangan ekonomi makin lebar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Mei lalu menunjukkan jumlah penganggur dan tingkat kemiskinan berada pada kondisi yang memprihatinkan. Jumlah penganggur di Indonesia pada Februari 2021 mencapai 8,75 juta, meningkat 26,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun jumlah penduduk miskin nasional pada Maret 2021, menurut BPS, sebanyak 27,54 juta jiwa, naik 1,12 juta orang dari tahun sebelumnya.
Pada saat yang sama, Bank Dunia menurunkan kelas Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah, awal Juli lalu. Keputusan ini seiring dengan anjloknya pendapatan nasional bruto per kapita pada 2020 yang hanya US$ 3.870, turun dari 2019 yang sebesar US$ 4.050. Ini jelas kabar suram bagi ekonomi Indonesia.
Di tengah guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-19, pemerintah perlu segera mengalihkan fokus kebijakan ekonomi pada upaya menekan laju pengangguran dan tingkat kemiskinan. Mendorong masuknya investasi padat karya, misalnya, bisa menjadi solusi menampung angkatan kerja baru dan korban pemutusan hubungan kerja. Kebijakan pemberian insentif harus terus digulirkan guna membantu mereka yang terancam kehilangan pekerjaan di sektor-sektor industri yang kini nyaris gulung tikar.
Guna mengerem laju tingkat kemiskinan, penyaluran dan pencairan bantuan tunai senilai Rp 110 triliun perlu disegerakan. Bantuan ini bisa meningkatkan daya beli masyarakat di tengah kondisi sulit dan diharapkan dapat menjadi efek pengganda bagi sektor lain.
Tentu segala daya dan upaya perbaikan perekonomian baru bisa menuai hasil jika pemerintah mampu mengerem laju penularan Covid-19. Tanpa menyelesaikan isu kesehatan, berjuang memperbaiki ekonomi tak ubahnya “menggantang asap”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo