Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Mall

Marx menunjukkan, kapitalisme mengubah benda. Ketika dalam kehidupan masyarakat benda menjadi komoditas—barang dagangan yang diperjualbelikan—nilai tukar berkuasa, menyisihkan nilai guna.

25 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH sebelum mall berdiri, jauh sebelum mall pelan-pelan mati, di abad ke-15 ada Bazar Besar di Istanbul yang terbentang meliputi 58 jalan raya. Di sana berderet 4.000 toko. Atau Bazar Akbar di Teheran yang dirampungkan di abad ke-17: memanjang 10 kilometer, menampung 180 pusat belanja. Atau di St. Petersburg, Rusia, sejak abad ke-18: Gostiny Dvor seluas 53 ribu meter persegi; di dalamnya ada lebih dari 100 toko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pendahulu mall itu—sebuah istilah Amerika yang dikenal baru di abad ke-20 untuk menyebut “pusat belanja”—sudah memulai jorjoran raksasa arsitektural: pentas dibangun megah, meriah, penuh gairah; jual-beli dibuka dengan pajangan, transaksi dibuat agar berjalan nyaman. Calon pembeli (pernah diibaratkan sebagai “raja”) dielu-elukan menjelang masuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti deretan panjang toko di Chester, sebuah kota di barat laut Inggris, yang konon bermula di abad ke-13, arena perdagangan di Teheran, Istanbul, St. Petersburg, Paris, Milano, London, dan entah mana lagi itu selamanya sebuah jalan beratap. Ruang dilindungi dari hujan, salju, terik matahari oleh payon lengkung di langit-langit—sebuah arkade. Mereka, dalam pelbagai ukuran, menjadi wilayah spesial bagi orang-orang yang, dengan biaya tinggi, ingin memuaskan mata dan selera.

Dengan kata lain: sebuah bujukan. Arkade adalah “sebuah jalan khusus untuk perdagangan yang menggairahkan; semua disesuaikan agar membangkitkan hasrat”, tulis Walter Benjamin tentang passages couverts de Paris. Jika dibaca kalimatnya, terasa Benjamin melihat lorong yang spektakuler itu mirip sebuah bordil: “Sebab di jalan ini air liur (terjemahan bebas untuk die Säfte) tak cepat berhenti, komoditas berkembang-biak di tepi-tepi….”

Sering nada tulisannya murung, tapi Benjamin tampaknya asyik ketika ia seakan-akan menyusuri kota-kota besar Eropa di abad ke-19. Sebenarnya filosof yang menganggur ini (ia tak diterima menjadi pengajar universitas utama di Jerman) menikmati Paris di antara tahun 1925 dan 1940; ia keluar-masuk lorong perpustakaan dan deretan ribuan buku dan dokumen. Ia meneliti, mencatat, dan merenungkan dahsyatnya kapitalisme dalam sejarah kehidupan urban. Setelah ia meninggal bunuh diri, catatannya dihimpun dan diterbitkan sebagai Passagen-Werk (versi Inggrisnya: Arcades Project). Di sana ia gambarkan hubungan kekuatan modal dengan apa yang disebutnya “Tempel des Warenkapitals”, “kuil” yang dibangun untuk barang dagangan, ketika komoditas meraja di masyarakat.

Benjamin seorang Marxis, meskipun bukan Marxis garis lurus. Ia selalu mengemukakan tilikan yang orisinal, bukan cuma mengutip ajaran. Ketika ia menyebut arkade sebagai “kuil”, ia memang berangkat dari yang disebut Marx sebagai “fetisisme komoditas”. Tapi ia tak berhenti di sana.

Marx menunjukkan, kapitalisme mengubah benda. Ketika dalam kehidupan masyarakat benda menjadi komoditas—barang dagangan yang diperjualbelikan—nilai tukar berkuasa, menyisihkan nilai guna. Rasa nyaman sepatu di kaki kita diringkas dan ditandai dengan angka rupiah. Angka itu berlaku buat sembarang orang. Apa yang tak terbandingkan pada si sepatu (juga si sepeda, si tempat tinggal, si juru masak, si tenaga ahli, si aroma parfum, bahkan juga perjalanan umrah dan ziarah) hilang.

Kapitalisme memisahkan barang dan benda dari sejarahnya masing-masing. Pada saat yang sama komoditas punya sejarah baru. Selembar baju yang diletakkan di etalase sebuah mall punya fungsi lain: ia hanya contoh, tapi sepenuhnya hadir untuk dilihat, ditonton, diraba. Ia menawarkan diri di antara tontonan lain, ia bersaing dengan komoditas lain; ia ada untuk dipertukarkan. Benda itu begitu mempesona hingga seperti seorang putri kecantikan yang dinobatkan di panggung yang gemerlap seakan-akan bidadari. Kita tak ingat ia makhluk bumi yang dihadirkan lewat jerih payah. Kapitalisme memang membangun lupa itu. Dan dengan pemasaran yang gencar dan gegap-gempita, komoditas pun jadi “fetish”.

Ketika brand dan kemasan dilekatkan pada tas dan rokok, barang dagangan itu—yang pada dasarnya sama dengan kue pancong dan karet gelang—kian intens didambakan: ia menjadi fetish yang melipur lara dan menenteramkan. Fetish ada karena dipuja: saya dengar seorang superkaya di Jakarta membentuk tumpukan koper Louis Vuitton bagaikan altar di ruang tamunya.

Dengan kata lain, obyek berubah menjadi subyek, dan subyek menjadi obyek: aku sanggup membeli tas Louis Vuitton tapi berubah jadi oknum yang pasif; aku siap berkorban buat berada di dekat sang fetish. “Alienasi” pun terjadi—seperti dalam agama, ketika manusia yang aktif merumuskan Tuhan kemudian menjadi obyek yang takut. Tak mengherankan Benjamin berbicara tentang arkade sebagai “kuil” komoditas dan melihat persamaannya, secara arsitektural, dengan gereja.

Tapi itulah paradoks komoditas. Marx tak membahasnya, tapi tulisan Benjamin menjelaskan: kapitalisme menyelewengkan benda-benda, tapi hanya sampai batas tertentu. Di balik dirinya yang ditandai angka rupiah, komoditas masih punya sesuatu yang lain. Atau kita membuatnya tak hanya sebundel nilai tukar dan nilai guna.

Mengikuti Marx, Benjamin memakai kata “fantasmagoria” untuk menggambarkan parade komoditas yang dipajang memukau dan berubah-ubah di pusat belanja Kota Paris seperti rangkaian ilusi dalam lanterna magica. Tapi berbeda dengan Marx, Benjamin melihat bahwa dalam “fantasmagoria” itu benda-benda tak membawa lagi semata-mata harga. Deretan iklan dengan desain yang memikat dan kocak, botol parfum dengan bentuk ganjil, etalase yang dihiasi kotak antik telah menjadi semacam seni rupa—tak jauh berbeda dengan deretan karya Rothko dan Picasso di museum.

Kekuatan modal memang mengalahkan benda dan manusia, tapi tak semuanya selesai. Mall akan sepi pembeli, arkade abad ke-19 pada tutup, tapi ada daya lain yang membikin “fantasmagoria”: kita tak hanya menjual, tak hanya membeli. Kadang-kadang kita bisa membuat pesona. Hidup adalah proses produksi hal-hal yang, biarpun sekejap, baru. Dalam mall, di luar mall.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus