Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Omnibus law yang menekankan investasi mengancam keberadaan lingkungan.
Amdal akan dinilai oleh komisi yang ditunjuk pengusaha.
Keterlibatan masyarakat, sanksi pidana kepada pengusaha, juga dihapus.
UNDANG-undang sapu jagat, yang lebih terasa keren disebut omnibus law, tengah digodok pemerintah dan konon akan segera diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dan disahkan. Ia merangkum, memampatkan, dan menyederhanakan 70 lebih undang-undang yang sudah ada dan berjalan, di bawah nama Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum membahas bagaimana kedudukan omnibus law dalam kebijakan publik dan apa untungnya buat publik, mari kita tengok lebih dulu data ini. Saya kutip dari temuan Forest Watch Indonesia, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi, Kantor Staf Presiden, dan banyak lembaga negara lain:
- Dari total 2,9 juta hektare kebun kelapa sawit di Papua, hanya sekitar 323 ribu hektare atau 11 persen yang berada dalam lokasi hak guna usaha (HGU) tiap perusahaan, sesuai dengan izin yang mereka terima.
- Di Papua Barat, dari 485 ribu hektare, hanya 139 ribu hektare atau 29 persen kebun kelapa sawit berada dalam lokasi HGU.
- Di Kalimantan Timur, dari luas kebun sawit 2,9 juta hektare, hanya 1,5 juta hektare yang sesuai dengan izin lokasi mereka. HGU yang menempati tanah adat seluas 544 ribu hektare.
- HGU yang berada di wilayah tanah adat padahal tak sesuai dengan izinnya seluas 331 ribu hektare.
- Dari 7 juta hektare kebun kelapa sawit, seluas 910 ribu hektare tumpang-tindih dengan izin konsesi lain, terutama area kawasan hutan dan pertambangan.
Artinya, desain perizinan yang berbasis hutan dan lahan sudah lama melahirkan konflik. Data Kantor Staf Presiden hingga 12 Juli 2019 menyebutkan bahwa jumlah konflik lahan sebanyak 666 kasus, 353 kasus atau 53 persen di antaranya berada di kebun sawit. Jumlah ini belum beranjak karena data 2014-2018 menunjukkan konflik tersebut berada di lahan seluas 807.177 hektare, 73 persen di antaranya berlokasi di kebun kelapa sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyataan-kenyataan itu agaknya tidak cukup direspons dalam penyusunan omnibus law. Pemerintah berfokus pada pemberian izin dan mempercepatnya untuk sedemikian rupa dan sebesar-besarnya menarik investasi.
Untuk mempercepat pemberian izin kepada perusahaan dan memudahkan pengadaan lahan di bidang kehutanan, dalam Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja beberapa pasal diganti atau dihapus. Dalam usul perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, mekanisme penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau uji kelayakan oleh komisi yang dibentuk pemerintah seperti diatur pasal 29 akan diubah menjadi penilaian oleh pihak ketiga yang ditunjuk pelaku usaha.
Izin lingkungan yang termaktub dalam pasal 36 juga akan dihilangkan. Ada juga pembatasan keterlibatan masyarakat, yang diatur pasal 65. Selain itu, semua pasal yang terkait dengan sanksi pidana dalam pelanggaran lingkungan hidup dihapus. Pelanggaran aturan yang merusak lingkungan oleh pemegang izin hanya akan dikenai sanksi administrasi.
Pendekatan itu sejalan dengan pernyataan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia baru-baru ini yang menyebutkan ada sekitar 1.500 surat keputusan menteri yang menghambat investasi. Pemerintah akan memangkasnya menjadi 298 saja. Menurut Menteri Bahlil, kementerian yang izinnya paling banyak dan cenderung menghambat investasi adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut saya, untuk mewujudkan efisiensi perizinan, peraturan yang banyak itu secara kritis dan paradoksal perlu dihubungkan dengan buruknya tata kelola pengelolaan sumber daya alam. Apabila dengan peraturan yang banyak itu negara gagal membentuk keteraturan bermasyarakat, kita perlu mencari akar kegagalan tersebut untuk memastikan apakah sumber pokok masalahnya berasal dari banyaknya teks peraturan ataukah karena hadirnya lembaga perizinan “pseudo-legal”. Dapatkah kondisi pseudo-legal dihapus omnibus law?
Walaupun secara normatif hukum bersifat formal, perbedaan kerangka kerja di tingkat konstitusional dan operasional mengandaikan proses tersebut sebagai “aturan kerja”. Kenyataannya, isi dan efektivitas pelaksanaan aturan kerja ditentukan oleh efektivitas fungsi lembaga penegak hukum, putusan-putusan pengadilan, juga respons atas arena pilihan-pilihan kolektif hubungan pejabat-pengusaha serta peran asosiasi swasta dan masyarakat sipil.
Saya simpulkan begitu setelah melakukan penelitian kecil kepada beberapa informan saat menelaah pencegahan korupsi oleh pelaku swasta. Pelaku swasta cenderung mendukung grease the wheel hypothesis yang menyatakan bahwa korupsi menjadi pelumas pembangunan sehingga berdampak positif bagi ekonomi.
Dengan cara pikir seperti itu, visi peraturan formal perusahaan pun mudah bergeser, tergantung kemampuan mempengaruhi pengambilan keputusan, keterbukaan/ketertutupan informasi bagi publik, ataupun tinggi-rendahnya risiko pelanggaran hukum. Saya menyebutnya mitomania, istilah yang dipopulerkan psikiater Jerman, Anton Delbrueck.
Dalam mitomania, kebohongan sudah menjadi bagian hidup, bahkan tak jarang orang mempercayai kebohongannya sendiri sehingga tidak lagi bisa membedakan mana yang fiktif dan mana yang nyata dalam kehidupan. Pada titik inilah besarnya biaya transaksi perizinan itu oleh para pelakunya dianggap sebagai oli pembangunan dalam menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan ekonomi, dan menimbulkan efek ganda pada kesejahteraan masyarakat.
Maka, jika membaca cara berpikir seperti itu, kita bisa mengerti mengapa sejumlah kalangan menganggap pemberantasan korupsi oleh KPK justru menjadi gangguan pengembangan investasi. Pemberantasan korupsi yang gencar dilakukan komisi ini membuat pengusaha takut, birokrasi tak berani mengambil keputusan, karena mereka yang menabur dan menerima “oli pembangunan” akan masuk penjara, dipermalukan lewat televisi, dan menghadapi sidang pengadilan. Karena menjadi penghambat investasi, kewenangannya perlu dipreteli.
Dengan tarik-menarik kepentingan dan cara pandang yang berbeda seperti itu, kita seperti menghadapi kebuntuan karena keduanya saling menegasikan. Paul F. Steinberg, guru besar ilmu politik dan kebijakan lingkungan Harvey Mudd College, Amerika Serikat, menyebut kebuntuan itu sebagai akibat dari korupsi institusional, korupsi melalui kebijakan, yang melemahkan jalan baik--dalam hal ini pemberantasan korupsi.
Ukuran telah terjadi korupsi institusional sederhana saja. Ia terjadi jika sebuah lembaga tak bisa lagi memenuhi tujuan publik kendati sudah bekerja sesuai dengan prosedur dan asas legalitas.
Untuk itu, para penyusunan omnibus law perlu mempertimbangkan kenyataan dan masalah di lapangan ini, memperhatikan hal-hal lebih luas daripada sekadar norma-norma hukum, serta membuka hasil-hasilnya agar masyarakat luas bisa memberi masukan selayaknya. Menutupinya dari jangkauan publik hanya akan menciptakan mudarat dan memperpanjang korupsi institusional itu.
Sebab, mengurus izin usaha dan melaksanakannya tidak bisa hanya dilihat dari apa yang tertuang dalam teks peraturan. Dalam praktiknya, dari penelitian lapangan KPK pada 2018, pelaksanaan izin bergantung pada pengambilan keputusan di berbagai lembaga pemerintah dengan bentuk-bentuk praktik komunikasi, kekuasaan, atau kewenangan yang bekerja, termasuk pengaruh dari luar sistem pengambilan keputusan.
Maka, meski segala aturan tampak berjalan sebagai mana mestinya, lembaga audit menganggapnya sesuai dengan kaidah legal-formal, toh lingkungan dan hutan tetap rusak. Kita perlu bertanya, juga mengawalnya, kesesuaian aturan dengan pelaksanaan teknis di lapangan. Ketidaksesuaian aturan dan pelaksanaan itu saya sebut sebagai “pseudo-legal” tadi, hukum yang berjalan seolah-olah benar.
Tentu saja omnibus law tidak kita harapkan mengulang kesalahan-kesalahan sebelumnya, dengan lebih parah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo