Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dari semua ciptaan, yang begitu mirip Tuhan adalah keheningan”—Meister Eckhart
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keheningan, seperti Tuhan, tak menjawab, hanya terasa hadir, di atas lembah air panas Pegunungan Unzen, ketika orang-orang Nasrani disiksa di hari yang sangat dingin di bulan Desember 1629.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jepang sedang melanjutkan pembasmian agama asing.
Salah satu saksinya adalah Cristóvão Ferreira, pastor Jesuit asal Portugal yang hidup di Jepang sejak 1609 sampai zaman agama Kristen yang mula-mula dibiarkan masuk kemudian disingkirkan dengan drastis. Sepucuk surat rahasia yang ditulisnya ke Roma bertanggal 22 Maret 1632 menggambarkan rinci apa yang terjadi di lembah itu:
“Satu demi satu ketujuh orang itu dipisahkan dari orang-orang sekelilingnya, dibawa ke tepi danau berasap itu untuk melihat air mendidih yang melontarkan percikannya tinggi ke udara.... Kemudian mereka disuruh meninggalkan ajaran Kristus, atau, kalau tidak, tubuh mereka akan merasakan sakit yang amat sangat dalam air panas yang terbentang di depan mereka. Cuaca dingin membuat uap air mendidih itu menakutkan sekali....”
Shūsaku Endō mengutip surat itu dalam Chinmoku (versi Inggris, Silence), novelnya yang terkenal sejak terbit 1966. Martin Scorsese dengan puitis mengadaptasinya dalam sebuah film 2017. Di awal film kita masuk ke adegan itu—kabut, bukit-bukit, uap, sinar matahari yang redup, iringan serdadu dan samurai yang garang, orang-orang Kristen yang tertangkap yang diikat di kayu palang. Hanya bunyi dan suara terbatas yang terdengar. Bahkan tak ada doa. Tuhan absen meskipun “Ia selalu hadir... dalam kebisuannya,” tulis Scorsese mengantar novel Endō yang dibacanya berulang kali selama 20 tahun itu.
Tuhan yang membisu tampaknya sebuah masalah (atau misteri) sentral dalam novel Endō; Tuhan yang tak jelas niat-Nya dan sikap-Nya, paling tidak bagi dua padri Jesuit yang menyaksikan bagaimana orang-orang yang begitu meyakini Yesus—kebanyakan petani, melarat, dan tak berdaya—disiksa habis-habisan.
Ferreira akhirnya patah. Ia meninggalkan iman Kristen, karena hanya dengan demikian—sebagaimana disyaratkan para penguasa Jepang—para petani miskin itu dibebaskan dari siksaan. Di mata Gereja, ia “padri yang jatuh”. Ia mengecewakan, membingungkan, dan di sana-sini dikecam sebagai pemimpin rohani yang murtad, yang melakukan loncatan ke dalam gelap setelah bertahan dalam iman lebih dari seperempat abad. Padahal ia bisa teguh dan, kalaupun mati, ia akan menjadi syuhada yang memenuhi janji ke-martir-an.
Tapi salahkah dia? “Dengar!” katanya, “aku ditempatkan di sini dan mendengarkan suara-suara mereka yang tak ditolong Tuhan. Tuhan tak melakukan apa pun. Aku berdoa dengan sekuat tenaga, tapi Tuhan tak berbuat apa pun.”
Ia akhirnya tahu ia tak bisa mengharapkan mukjizat seperti dalam banyak cerita agama. Tuhan dan dirinya tak bisa menyombongkan diri dengan kekuatan ajaib.
Sebastian Rodriguez, rohaniwan yang lebih muda, semula tak percaya perubahan radikal Ferreira, padri tauladan hidupnya. Ia bertekad menyusulnya ke Jepang. Dengan susah payah, ia hidup di tengah kaum Kakure Kirishitan (Nasrani yang Bersembunyi) yang dikejar-kejar—sampai akhirnya Ferreira muncul. Padri Portugis ini sudah memakai nama Jepang, Sawano Chūan, dan menyatakan diri menjadi anggota satu sekte Buddhisme Zen; Sebastian menelan pengkhianatan itu dengan pedih.
Ia memandang nista Sawano Chūan—sebagaimana ia menistakan Kichijiro, pengecut dan pengkhianat. Tapi akhirnya ia mengalami apa yang dialami Ferreira.
Sejumlah petani disiksa. Mereka akan terus disiksa meskipun sudah menyatakan menampik Yesus. Sebab yang dibutuhkan para penguasa Jepang bukan itu. Mereka ingin melihat sang padri itulah yang membatalkan iman dalam dirinya.
Dengan itu Sebastian dipaksa memilih: ia menginjak gambar Kristus, dalam “upacara” yang disebut fumie, atau para petani itu akan terus digantung sungsang ke dalam lubang, dengan darah menetes terus dari kuping, melalui hidung dan mulut mereka. Sampai mati.
Dengan kata lain, ia harus memilih bertahan pada iman, kukuh jadi tauladan, menyebarkan kabar kebesaran Tuhan bahkan keagungan ke-martir-an; atau ia membebaskan orang-orang malang yang menunggu kematian yang sakit di dekatnya itu. Apa yang harus dilakukannya?
Tuhan, tiba-tiba, terasa tak diam. Di saat yang genting itu, ia seperti mendengar suara: “Injaklah aku! Injak! Sebab aku datang ke dunia ini untuk diinjak!” Dan Sebastian pun menginjakkan kakinya di wajah Yesus di papan itu. Ia murtad.
Ia juga akhirnya menjadi Jepang dan Buddhis, meskipun setengah hati. Yang hening adalah kesimpulan: bagaimanakah sebaiknya hubungannya, hubungan manusia, dengan Tuhan. Dengan iman dalam kekuatan, atau iman dalam sengsara?
Saya ingat Slavoj Žižek pernah menuliskan persoalan pelik yang dihadapi agama-agama dari abad ke abad: agama selalu mengandung trauma yang membuat manusia bertanya, bagaimana menghubungkan Tuhan yang mahakuasa dengan tak tertolongnya orang-orang yang tak berdosa dari penderitaan yang mengerikan. Saya tak yakin Žižek, seorang atheis, menawarkan sebuah theodice. Tapi satu kalimatnya kembali muncul dalam ingatan: “Hanya Tuhan yang merasakan sengsara yang bisa menyelamatkan kita.”
Mungkin itu sebabnya petani-petani Jepang dalam film Scorsese lebih meyakinkan dalam keteguhan iman mereka—karena lebih dipertalikan perasaan senasib, bukan janji keagungan kemartiran. Tiap kali disiksa, mereka bisa merasakan Tuhan mereka berkata, “Aku datang ke dunia ini sebagai yang diinjak.”
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo