Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kita menyesalkan pemerintah Cina yang tak sejak awal mengumumkan penyebaran virus corona.
Ketertutupan pemerintah Cina mengingatkan kita pada bencana Chernobyl di bekas Uni Soviet.
Indonesia perlu belajar dari kesalahan dua negara otoriter—Cina dan bekas Uni Soviet. Pada kasus corona dan Chernobyl, dunialah yang menanggung akibat.
PEMERINTAH Indonesia perlu belajar dari kesalahan Cina menangani virus corona jenis baru. Bukannya mengumumkan lebih cepat ihwal kemunculan virus tersebut di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, pemerintah Cina malah menutupinya dan mencoba mengendalikan arus informasi. Setelah bau bangkai itu tak bisa lagi disembunyikan, Cina dan dunia harus membayar mahal.
Hingga akhir pekan lalu, korban yang terpapar virus itu mencapai 31 ribu orang, dengan 638 orang meninggal. Unit kesehatan di Wuhan sebenarnya telah mendeteksi keberadaan virus tersebut pada 12 Desember 2019. Namun informasi itu baru diumumkan secara resmi pada 31 Desember. Sekitar dua pekan kemudian, barulah pemerintah Cina menutup Wuhan, kemudian sejumlah kota lain. Akhir Januari lalu, Badan Kesehatan Dunia menyatakan kondisi darurat global.
Sikap pemerintah Cina yang menutupi informasi itu sungguh tak bijak. Polisi Cina bahkan menangkap delapan peniup peluit yang menyebarkan informasi itu karena mereka dianggap mengganggu ketertiban umum. Salah satunya dokter Li Wenliang, yang bekerja di Rumah Sakit Pusat Wuhan. Mencermati tujuh kasus yang diduganya sebagai sindrom pernapasan akut berat (SARS), Li memberikan peringatan kepada koleganya agar menggunakan pakaian pelindung supaya tak terinfeksi. Ia meninggal pada Jumat, 7 Februari lalu, karena terjangkit virus Wuhan.
Ketertutupan Cina ikut mempercepat dan memperluas penyebaran virus. Apalagi masa inkubasi virus tersebut relatif pendek, hanya 2-14 hari, dengan penularan melalui udara. Potensi penularan antarmanusia menjadi lebih besar karena lalu lintas orang keluar-masuk Cina berlipat pada masa liburan Desember-Januari. Seandainya tahu lebih cepat, pemerintah negara lain tentu bisa ikut mencegah penyebaran virus itu.
Ketertutupan Cina pun terlihat dari penolakan terhadap negara lain yang berniat membantu, misalnya dengan mengirimkan ahli virus untuk membuat vaksin. Sikap ini mengingatkan kita pada tragedi Chernobyl, 1986. Sikap Uni Soviet yang menyembunyikan bencana reaktor nuklir itu justru memperburuk keadaan—bencana yang menyebabkan kematian 4.000 orang.
Inilah dampak dari negara otoriter yang menerapkan sistem komunikasi asimetris. Dunia pada akhirnya ikut menanggung dampak kesalahan pemerintah Cina tersebut. Kepanikan merebak di mana-mana. Perekonomian global pun ikut bergejolak karena terpengaruh oleh kondisi di Cina. Pemulihan akibat persoalan ini diperkirakan membutuhkan waktu lama karena belum tersedia antivirus.
Pemerintah Indonesia tak boleh lengah meski hingga 7 Februari lalu virus itu diyakini belum menyebar ke dalam negeri. Keputusan pemerintah Indonesia pada Ahad, 2 Februari lalu, yang melarang sementara kunjungan turis dan pesawat dari Cina sudah tepat. Pemerintah pun tak boleh tunduk pada tekanan Cina yang meminta pembatalan kebijakan tersebut. Menjaga keselamatan penduduk harus menjadi prioritas. Jika kondisi sudah membaik, pemerintah bisa mencabut larangan itu.
Merebaknya virus Wuhan juga tidak boleh membuat kita memelihara rasa takut berlebihan. Apalagi sampai bertindak diskriminatif terhadap etnis Cina, para korban, atau mereka yang dipulangkan dari negara itu. Kepada mereka, kita justru harus bersimpati. Bagaimanapun, mereka adalah orang yang menghadapi musibah, bukan pembawa wabah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo