Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sekitar 10 November, saya selalu teringat Woce. Nama lengkap: Robert Walter Monginsidi. Regu tembak pasukan Belanda mengeksekusinya di Pacinang, Makassar, 5 September 1949.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun yang lalu saya menulis tentang pemuda ini:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberi maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang dikatakan Yesus di saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia—yang tak mau meminta grasi kepada pemerintahan kolonial—sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya.
Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi—sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya—ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya “sebagai bunga yang sedang hendak mekar… digugurkan oleh angin yang keras”.
Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si “Woce” di majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56—sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946. Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan.
Pada suatu hari ia luka. Pada suatu hari ia ditangkap. Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh “Raad van Justitie”, empat bulan sebelum Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.…
Tapi Woce mati hanya satu kali. Tak seorang pun akan menyebutnya pengecut. Pengecut mati beribu kali sebelum ajal. “A coward dies a thousand times before his death, but the valiant taste of death but once”—kata Julius Caesar dalam lakon Shakespeare, ketika menolak menghindar dari pembunuhan.
Anak muda yang dieksekusi di Pacinang itu tentu saja bukan Caesar. Woce, sebagai digambarkan Subagio Sastrowardojo dalam sajak “Monginsidi”, pemuda yang “dibesarkan dengan dongeng di dada bunda”, anak yang “takut gerak bayang di malam kelam”.
Ia orang kebanyakan. Tapi ia menemukan dirinya dalam situasi-perbatasan, “bunga yang sedang hendak mekar… digugurkan oleh angin yang keras”.
Di perbatasan itu, di situasi yang tragis itu, angin yang keras justru mengangkatnya masuk ke dalam laku heroik. Woce menaklukkan kematian. Itulah yang membedakan kepahlawanan dari sekadar keberanian.
Dalam Illiad, epos Yunani Kuno itu, Hektor dalam posisi itu. Ia memilukan, ia mengagumkan, ia gugur mempertahankan kotanya, Troya, setelah sendirian menghadapi seorang pendekar yang terkenal tak bisa mati, Achiles. Hektor melampaui keterbatasan kemanusiaannya, sementara Achiles tak melampaui apa pun. Ia hanya jadi pendendam yang tak bisa mengatasi diri, ketika ia menyeret jenazah pangeran Troya yang berdarah-darah itu di belakang kereta perang, mengitari tembok Troya—menista seseorang yang sudah tak bisa membalas.
Hektor (dan juga pemuda Monginsidi) di atas itu. Ia menciptakan sebuah “keabadian yang imanen”, untuk meminjam ungkapan Alain Badiou ketika mengulas la figure du soldat, kiasan heroisme. Hektor tak mendasarkan alasan sikapnya kepada berkah dan janji dewa-dewa. Pelaku tindakan yang kemudian bisa disebut “heroik” sadar dirinya terbatas. Tapi ia mengalahkan ketakutan dan kematian, untuk memenangi sesuatu yang tak terbatas, yang universal: hak hidup tiap orang yang bukan dirinya—hak bagi semua.
Zaman ini melupakan itu. Tokoh zaman ini adalah orang yang berani membunuh dan dibunuh, dengan cara yang ganas atau spektakuler, karena yakin akan masuk surga—sebuah proyek kenikmatan bagi diri sendiri.
Di samping dia, tapi berbeda, jenis manusia penghitung. Tokoh ini memilih rute yang aman: tiap laku—makan, minum, berdandan, bersetubuh, bekerja, beribadah—didasarkan pada pertimbangan untung-rugi. Ketika ia “memberi”, ia sebenarnya “meminta”. Ia bicara tentang “pahala Tuhan”, seperti ia bicara “laba”. Hal “kebenaran”, “kemerdekaan”, “keadilan”, dan “keindahan”—apalagi cita-cita, kegandrungan, dan imajinasi tentang itu—absen dari hidupnya.
Dan kita kehilangan. Bagi Badiou masa ini butuh la figure du soldat. Soldat, kata Badiou, adalah metafor pahlawan dari masa demokratik, bukan “ksatria” dalam kepahlawanan aritokratik. Tapi saya kira Badiou meleset, bila dengan soldat kita ternyata menemukan “prajurit” yang sepenuhnya militer, mesin yang tak digerakkan semangat kebenaran dan keadilan.
Mungkin yang kita perlukan tokoh dalam lukisan Soedjojono “Sekko”: gerilya yang berdiri di tengah puing, dengan karaben yang lebih panjang ketimbang tubuhnya, dengan kaki petani yang akrab dengan bumi, di bawah langit yang mengancam, dalam gelap yang hanya sedikit tersingkap terang. Ia manusia situasi perbatasan antara to be or not to be. Bukan buat dirinya sendiri. Ia seperti Monginsidi.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo