Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fauzi Sukri*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA edisi dummy-nummer Fikiran Ra’jat (15 Juni 1932), dalam rubrik Primbon Politik (Politiek Vragenbus), Sukarno menulis apa yang bisa disebut sebagai “kamus politik” radikal nasionalistik. Ada kebutuhan massal dan mendesak pada kamus politik bersamaan dengan kebangkitan gerakan nasionalisme sejak awal abad ke-20.
Awal abad ke-20 adalah masa kebangkitan penting bahasa Melayu menjadi bahasa politik revolusioner nasionalistik (Collins, 2005). Hampir semua politikus muda nasionalistik menggunakan bahasa Melayu dalam tulisan-tulisan radikal mereka. Termasuk saat mereka membuat aksi openbare-vergadering dengan orasi politik yang radikal, bergemuruh, dan dengan gerak tubuh memikat. Tentu saja banyak istilah politik baru, baik dari bahasa daerah, Melayu, maupun Belanda, yang perlu diberi penjelasan. Kamus politik menjadi sangat penting, bahkan menjadi rubrik tersendiri dalam surat kabar.
“Surat kabar pergerakan di masa awal sering sekali memuat kolom yang diiklankan sebagai ‘kamus politik’...,” kata sejarawan Benedict Anderson (2008: 49). Neologisme istilah politik (umumnya dari bahasa Belanda) membanjiri tanah Hindia Olanda, baik dari mulut politikus pribumi maupun surat kabar. Kamus politik sangat dibutuhkan. Primbon Politik yang diasuh Sukarno bukan hanya rubrik surat pembaca sebagaimana yang kita kenal sekarang, tapi terutama sebagai forum kamus politik tempat rakyat pembaca-pendengar bisa bertanya perihal istilah politik.
Dalam rubrik Primbon Politik 15 Juni sampai 23 Desember 1932, setidaknya ada 70 lebih pertanyaan yang langsung terkait dengan makna kata. Kita pantas menyebut beberapa lema yang ditanyakan “kaum marhaen” bangsa Indonesia: politiek, politicus, marhaen, ra’jat, sociale revolutie, politieke revolutie, repolusioner, self-help, imperialisme, kapitalisme, boeng, broer, middenstand, bourgeoisie, openbare-vergadering, dan seterusnya.
Yang perlu diperhatikan: fungsi kamus pada masa itu bukan hanya sebagai penjelas etimologi atau terminologi “lema” sebagaimana dalam kamus modern standar. Tugas kamus pada masa itu jauh lebih berat. Bayangkan, kata Ben Anderson, “Pada 1914 tidak ada orang ‘Indonesia’ yang pernah ‘menyaksikan’ sebuah verkiezing (pemilihan umum) atau sebuah revolutie (revolusi)…. Apakah sesungguhnya sebuah voordracht (pidato politik) dan bagaimana seseorang ‘melakukan’-nya? Penghadiran-diri seperti apakah yang diperlukan seorang politicus?”
Pada awal kemunculannya, terutama bagi kaum marhaen, yang jelas tidak cukup bisa mengakses bacaan berbahasa asing, kata-kata politik yang sangat baru di mata dan telinga mereka tidak bisa dicerna dengan mudah dan langsung dipahami. Terkadang justru penghadiran tubuh atau peristiwa politik jauh lebih mudah dipahami lalu diberi istilah politiknya tanpa penjelasan yang rumit.
Dalam banyak hal, sosok Sukarno memenuhi semua itu. Sebagai politicus, Sukarno sangat suka memberikan voordracht dan tulisan-tulisannya sejak masa awal karier politik sudah dipenuhi istilah asing yang sangat membutuhkan penjelasan untuk para pembaca-pendengar awam. Sukarno, salah satu tokoh nasionalis terbesar yang tidak pernah ke luar negeri sebelum Indonesia merdeka, termasuk yang paling menyadari kebutuhan kamus politik bagi rakyat Indonesia. Majalah Fikiran Ra’jat, yang sejak awal memang dikhususkan bagi “kaum marhaen”, yang secara umum perbendaharaan kata-kata politiknya terbatas, jelas pas sekali untuk membuka rubrik tanya-jawab istilah politik.
Tentu, kalau kita perhatikan lema-lema yang dimuat dan diberi penjelasan di rubrik Primbon Politik, kita menyadari satu hal: semua istilah itu sangat terkait dengan ideologi gerakan politik yang diusung Sukarno. Pada edisi nomor perkenalan, Sukarno sudah menjelaskan apa arti “Marhaenisme” dalam satu esai cukup panjang. Tapi, pada edisi berikutnya, ternyata masih ada juga yang bertanya apa makna kata marhaen, bahkan ada yang bertanya soal ra’jat dan apakah kata itu berasal dari bahasa Arab.
Rubrik Primbon Politik kemudian dibukukan oleh H.A. Notosoetardjo dengan judul Primbon (Vademicum) Politik: Tanja Djawab Politik antara Rakjat dan Bung Karno Dimasa Pendjadjahan Belanda (1963). Meski susunan tulisannya tidak bersifat urut alfabetis sebagaimana kamus modern, buku ini merupakan salah satu kamus politik pemula yang ditulis pada 1930-an dalam sejarah perkamusan bahasa Indonesia.
Dalam sejarah gerakan nasionalisme, kamus politik itu sangat penting, tak hanya sebagai penjelas atas terminologi politik baru atau yang punya pengertian baru yang memasuki bahasa kaum marhaen. Yang lebih pokok adalah fungsinya sebagai sosialisasi awal suatu institusi politik baru sebelum realisasi pembentukan konkret yang sebenarnya. Dalam mewujudkan negara Indonesia modern, yang jelas bukan bentuk kerajaan sebagaimana dalam kisah-kisah rakyat selama ini, kata-kata mendahului bentuk konkret situasi politik atau institusi politik yang baru.
Rakyat bertanya perihal kata-kata politik modern dan politikus menjawabnya. Dalam arus pergerakan kata-kata politik modern itu, sosok Sukarno sangat unik dalam sejarah Indonesia. Dia tak hanya banyak menciptakan istilah baru seperti marhaen serta menciptakan akronim yang unik dan menarik, tapi juga menjadi pemula penulis kamus politik. Barangkali lebih dari semua itu, di mata rakyat yang terjajah, Sukarno adalah sosok konkret dari kata-kata baru dalam pergerakan nasionalisme di Indonesia.
*) PENULIS BAHASA RUANG, RUANG PUITIK (2018)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo