Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo memaksa memasukkan alokasi dana Rp 71 triliun untuk membiayai program makan bergizi dan susu gratis dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 merupakan langkah yang tidak lazim. Selain berpotensi melanggar aturan, kebijakan serampangan tersebut mengabaikan beban berat keuangan negara tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membahas masalah anggaran tahun depan dengan Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Permintaan ini menjadi pintu masuk bagi tim dari presiden terpilih untuk ikut campur dalam penyusunan RAPBN 2025. Padahal seharusnya Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, baru akan memiliki kewenangan menyusun anggaran setelah resmi dilantik menjadi presiden pada Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak cukup membuka ruang cawe-cawe, Jokowi juga memerintahkan penyimpanan dana Rp 71 triliun itu tanpa pos program di rekening Bendahara Umum Negara. Dengan begitu, Prabowo, setelah menjabat presiden kelak, dapat langsung menggunakannya. Proses ganjil ini jelas menabrak mekanisme penyusunan dan penggunaan anggaran karena membiarkan anggaran bisa dipakai untuk apa saja.
Janji kampanye Prabowo menjalankan program makan siang gratis, yang kemudian direvisi menjadi makan bergizi gratis, memerlukan dana besar hingga Rp 460 triliun. Keuangan negara yang sedang sulit membuat pelbagai rencana berubah. Dari semula 83 juta orang, sasaran jumlah penerima program turun menjadi 70,5 juta dengan rincian 22,3 juta anak balita, 7,7 juta murid taman kanak-kanak, 28 juta siswa sekolah dasar, dan 12,5 juta murid sekolah menengah pertama.
Sejauh ini, pemerintah baru mencadangkan Rp 71 triliun, jauh dari total anggaran yang diperlukan. Dana tersebut diperoleh dengan memperlebar kisaran defisit anggaran menjadi 2,29-2,82 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan. Guna menambal kekurangan tersebut, muncul rencana tim Prabowo merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dengan meniadakan batas defisit anggaran sebesar 3 persen terhadap PDB.
Rencana keblinger ini sangat berisiko membuat anggaran negara terjungkal. Selain berpotensi mengganggu keberlanjutan fiskal, yang menjadi pokok penting pengelolaan anggaran sebuah negara, kebijakan tersebut bisa menimbulkan moral hazard. Padahal keuangan negara dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan menghadapi kondisi berat. Stok utang pemerintah dalam bentuk surat berharga negara (SBN) dan berbagai obligasi serta sukuk lain sudah mencapai Rp 5.780 triliun.
Tambahan SBN di pasar secara drastis akan membuat harganya merosot dan jumlah peminatnya anjlok. Alarm bahaya sebenarnya sudah menyala. Berdasarkan indikator debt service ratio atau kemampuan penerimaan pajak—tidak termasuk penerimaan negara bukan pajak—kewajiban utang plus bunga sudah mencapai 40 persen.
Dengan pelbagai kondisi buruk tersebut, mengerem ambisi menambah utang menjadi sebuah keharusan. Tim ekonomi Prabowo semestinya mafhum Jokowi mewariskan utang negara yang menggunung di saat nilai tukar rupiah terus tergerus. Mengesampingkan asas kehati-hatian dalam pengelolaan negara sama artinya membiarkan Prabowo memimpin Indonesia dalam kondisi krisis ekonomi.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cara Sembrono Menyusun Anggaran"