Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMPANYE pemilihan umum semestinya menjadi kesempatan bagi kandidat presiden dan wakil presiden untuk melakukan pendidikan politik kepada para pemilih. Tapi hari-hari ini para elite politik memilih menjejali publik dengan gimik joget dan jargon kosong ketimbang membicarakan program yang merangsang diskursus dan kritisisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden memakai berbagai trik untuk menarik perhatian pemilih, khususnya anak muda yang jumlahnya mencapai 52 persen dari total pemilih nasional. Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menggunakan jargon “slepet” dan bermain-main di TikTok. Sedangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mencitrakan diri sebagai sosok menggemaskan dengan menari gemoy dan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI). Adapun Ganjar Pranowo-Mahfud Md. memakai slogan “sat-set”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggunaan gimik dalam kampanye menunjukkan para calon presiden-wakil presiden tak lebih dari para demagog. Pemimpin demagog pandai memakai retorika untuk menghasut dan memanipulasi sentimen publik demi meraih kekuasaan. Hasutan dan intrik kampanye itu dipakai para demagog untuk menutupi kelemahan dalam menyelesaikan persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat.
Pemimpin demagog juga gemar menebar ujaran kebencian dan menyerang pribadi kompetitornya. Gejala ini sudah tampak di tengah debat dan kampanye. Salah satunya pernyataan Prabowo tentang “ndasmu etik” yang merupakan respons atas pertanyaan Anies dalam debat calon presiden yang membahas putusan Mahkamah Konstitusi membolehkan Gibran menjadi calon wakil presiden meski belum cukup umur.
Bagi demagog, lebih urgen menciptakan narasi manipulatif untuk menggaet simpati ketimbang menyodorkan bukti yang dapat diterima nalar. Kita tentu masih ingat sesumbar tim Muhaimin yang hendak menggratiskan bensin jika memenangi pemilihan presiden. Pun janji Prabowo-Gibran yang akan memberikan makan siang gratis dengan estimasi anggaran lebih dari Rp 400 triliun setahun. Janji-janji itu tak masuk akal karena sumber pembiayaan programnya tak jelas dan membebani anggaran negara.
Para calon presiden-wakil presiden memakai demagogi untuk menjauhkan percakapan dari substansi dan menggaet popularitas. Mereka cenderung mengabaikan gagasan dan menghindari pembicaraan isu-isu strategis, seperti lingkungan hidup, pluralisme, dan antikorupsi. Dengan demikian, publik tak bisa mengukur kemampuan pemimpin dalam memecahkan persoalan besar. Yang diutamakan para calon itu hanya atraksi dan slogan yang sebenarnya tak bermakna.
Penggunaan simbol, atraksi, dan jargon seperti joget dan kartun hasil kecerdasan buatan dengan gampang masuk ke pemilih, khususnya anak muda, karena mereka bukan pemilih ideologis. Keputusan anak muda dalam memilih akhirnya didorong oleh sentimen kesukaan dan viralitas belaka yang diciptakan kaum demagog.
Perilaku pemilih yang “asal suka” itu terekam dalam berbagai sigi. Lembaga survei Charta Politika pada Oktober 2023 mencatat alasan-alasan responden memilih Anies, Prabowo, dan Ganjar semata-mata karena ketiganya terkesan santun, religius, bahkan tampan. Survei Polling Institute pun menemukan alasan sekadar menggemari ketiga calon presiden-wakil presiden sebagai faktor yang menentukan pilihan mereka dalam Pemilu 2024.
Menjejali pemilih dengan gimik tak akan membuat rakyat Indonesia menjadi berdaya dalam menentukan pemimpinnya. Dalam masa kampanye tersisa, para calon presiden-wakil presiden mesti berhenti menjadi demagog—penipu yang seolah-olah memperjuangkan nasib orang banyak, demi kepentingan dan kekuasaan dirinya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kampanye Demagogi Calon Presiden"