Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH sebaiknya mengevaluasi sistem administrasi perpajakan ketimbang ngotot mengusulkan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam kondisi perekonomian yang belum terlihat membaik, pemungutan pajak baru akan membuat ekonomi makin lesu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam draf revisi Undang-Undang KUP yang mulai beredar di publik akhir Mei lalu, salah satu pasal mengatur penerapan pajak pertambahan nilai bahan kebutuhan pokok dan pajak untuk sektor pendidikan. Pasal ini ganjil karena muncul di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Pemerintah tak cergas menjelaskan duduk perkara usulan ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani beralasan pemerintah baru akan memaparkan rancangan revisi undang-undang tersebut saat rapat bersama DPR, yang belum diketahui kapan dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memang sedang membutuhkan dana segar. Penanganan pagebluk membutuhkan biaya besar. Belanja vaksin dan penanganan Covid-19 sudah menghabiskan biaya ratusan triliun rupiah. Utang pemerintah hingga April lalu mencapai Rp 6.527 triliun, atau naik sekitar Rp 82 triliun dibanding bulan sebelumnya. Utang ini diperkirakan terus bertambah seiring dengan tingginya kebutuhan belanja pemerintah untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur di masa depan.
Mencari sumber penerimaan dengan mengutip pajak baru kepada masyarakat, apalagi kalangan ekonomi bawah, bukan pilihan elok. Jika dipaksakan, penerapan ini justru menimbulkan krisis baru di masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masih terus negatif sepanjang tiga triwulan terakhir.
Di masa ekonomi seret ini, pemerintah seharusnya mengetatkan ikat pinggang. Anggaran hanya digunakan ke sektor prioritas, seperti kesehatan dan pendidikan. Rencana melanjutkan pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur, yang disebut akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun, misalnya, seharusnya ditunda. Rencana pembelian alat utama sistem persenjataan hingga Rp 1.760 triliun juga wajib dibatalkan. Tidak ada kebutuhan mendesak pada dua rencana itu.
Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, sebaiknya memaksimalkan pendapatan dari pos yang sudah berjalan. Salah satunya pungutan bea impor. Itu sebabnya, kabar bocornya penerimaan negara dari impor emas di Bandar Udara Soekarno-Hatta selama 2019-2021 sebesar Rp 2,3 triliun sungguh melukai perasaan orang banyak. Direktorat Jenderal Pajak harus “mendidik” aparatnya agar memprioritaskan pungutan sebesar-besarnya untuk negara.
Ini memang bukan cerita baru. Dalam satu dekade terakhir, pemerintah selalu gagal mencapai target penerimaan pajak. Tahun lalu penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.282 triliun atau 89,3 persen. Pada tahun itu, pemerintah menargetkan akan memperoleh penghasilan pajak sebesar Rp 1.229 triliun dan hingga April baru tercapai 30,94 persen. Keberhasilan mencapai target penerimaan pajak akan selalu menjadi angan-angan jika pemerintah tak segera mengantisipasi kebocoran.
Ini menjadi salah satu penyebab rasio pajak Indonesia selalu rendah. Pada 2020, angkanya hanya 8,3 persen dari produk domestik bruto. Fenomena ini sudah berlangsung sejak sepuluh tahun lalu. Pemerintah sudah mengakui “kebocoran” penerimaan pajak ini terjadi akibat kebijakan dan sistem administrasi yang masih harus terus diperbaiki. Itu sebabnya, rencana menambah pendapatan dari sektor baru hanya impian muluk jika masih saja terjadi kebocoran di sana-sini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo