Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Badan Intelijen Segala Urusan

Tes usap Covid-19 yang digelar Badan Intelijen Negara secara masif belakangan bermasalah. Presiden perlu membatasi kewenangan lembaga telik sandi itu.

26 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Joko Widodo perlu merumuskan lebih detail apa yang dia maksud ketika pada awal Maret lalu memerintahkan Badan Intelijen Negara “mengambil langkah-langkah” dalam penanganan pandemi Covid-19. Tanpa panduan yang jelas, kiprah BIN dalam pencegahan wabah ini tak hanya berpotensi melanggar mandat dan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tapi juga menimbulkan kebingungan dan kesimpangsiuran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tengok saja bagaimana kisruhnya program tes polymerase chain reaction (PCR) atawa tes usap (swab test) yang dilakukan BIN di berbagai daerah guna mendeteksi pasien positif Covid-19. Hampir semua hasil tes mereka tak akurat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada pertengahan Juli lalu, sebanyak 17 pegawai, termasuk pimpinan, Lembaga Administrasi Negara dinyatakan positif corona oleh BIN hanya untuk dinyatakan negatif di laboratorium lain. Demikian juga puluhan pegawai MNC News dan TvOne yang dites dua pekan lalu. Sebagian besar karyawan kedua media yang dites BIN itu dinyatakan positif Covid-19, tapi sehari kemudian ditemukan negatif berdasarkan pemeriksaan rumah sakit lain.

Pangkal ketidakakuratan ini cukup sederhana. Semua tes PCR yang dilakukan BIN menggunakan mobil laboratorium yang tidak dianjurkan dalam penyimpanan sampel pasien. Kontaminasi sampel membuat hasil uji mereka tidak sahih. Terlebih, operator tes BIN rata-rata relawan yang baru direkrut kurang dari enam bulan lalu. Mereka tidak cukup terlatih untuk melakukan tes PCR sesuai dengan standar laboratorium. Alat dan metode tes PCR ala lembaga telik sandi ini melanggar berbagai standar di Kementerian Kesehatan.

Korban tes BIN yang tak akurat itu bukan cuma pasien dan keluarganya, yang dag-dig-dug setelah kekeliruan diagnosis yang fatal. Seluruh kredibilitas pemerintah dalam menangani pandemi ini turut dipertaruhkan.

Apalagi yang dilakukan BIN tidak cuma menggelar tes usap Covid-19 di berbagai provinsi. Lembaga telik sandi itu juga aktif menghubungi fakultas kedokteran dan farmasi di sejumlah kampus dan lembaga riset biologi molekuler. BIN gencar mendorong mereka meneliti vaksin dan obat penangkal Covid-19. Inisiatif itu kemudian berujung pada rilis obat anti-Covid-19 keluaran Universitas Airlangga yang diklaim bisa menyembuhkan pasien corona. Belakangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan menilai obat itu belum memenuhi standar kelaikan medis.

Peran BIN dalam berbagai kegiatan terbuka seputar penanganan pandemi ini sejatinya tak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Di sana ditegaskan tujuan intelijen negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan informasi intelijen. Tujuannya adalah memberikan peringatan dini sebagai antisipasi berbagai kemungkinan ancaman atas keamanan nasional. Keterlibatan BIN melakukan tes PCR massal, bagi-bagi masker, serta mendorong riset vaksin dan obat tentu jauh dari rambu-rambu batasan tugas yang diamanatkan undang-undang.

Lebih dari itu, aktivitas BIN dalam pandemi menunjukkan kelemahan tata kelola pemerintahan saat ini. Ada pembiaran tumpang-tindih kewenangan yang berbahaya. Tanpa mekanisme kontrol yang bisa mengendalikan prosedur standar berbagai operasi intelijen di bidang kesehatan, BIN bisa menjadi superbodi yang leluasa menerabas berbagai aturan. Tanpa kompetensi dan sumber daya yang memadai, dominannya peran BIN tidak membantu penanganan pandemi, tapi malah membuatnya makin jauh dari sasaran.

Penting disadari bahwa keterlibatan BIN bermula dari kebijakan Presiden Jokowi di awal masa pandemi pada Maret lalu. Ketika itu, Presiden menegaskan pentingnya peran lembaga intelijen, polisi, dan tentara untuk menghadapi pagebluk Covid-19. Dengan kata lain, Presiden sendiri yang mengutamakan pendekatan keamanan, bukan kesehatan, dalam menangani wabah ini. Terbukti, di garda terdepan, dari berbagai tim yang dibentuk Jokowi untuk menangani pandemi, tak ada satu pun otoritas medis yang mumpuni.

Sudah saatnya semua keruwetan ini dihentikan. Enam bulan sudah negeri ini dicengkeram pagebluk dan kondisinya tak kunjung membaik. Penularan terus meningkat, zona merah meluas, dan angka kematian masih menanjak. Presiden Jokowi tak boleh ragu berubah haluan dan kembali ke formula dasar penanganan pandemi: tes, pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment).

Perubahan bisa dimulai dengan menghentikan keikutsertaan BIN yang tidak pada tempatnya dalam penanganan Covid-19. Jangan lagi memberikan cek kosong kepada lembaga intelijen dan keamanan untuk menangani pandemi yang semestinya menjadi tugas dan tanggung jawab otoritas medis.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus