Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Ekspansi Berbahaya BUMN Transportasi

Sejumlah perusahaan pelat merah masuk ke bisnis logistik berbasis aplikasi. Bertentangan dengan Undang-Undang Persaingan Usaha.

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH BUMN transportasi merambah bisnis logistik berbasis digital bisa menjadi bumerang di kemudian hari. Meski ekspansi itu dapat dilihat sebagai strategi perusahaan untuk memperpanjang napas di tengah pandemi Covid-19, penguasaan bisnis dari hulu ke hilir bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Praktik ini juga bisa mematikan perusahaan lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga perusahaan pelat merah, yakni Garuda Indonesia, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), dan PT Kereta Api Indonesia (KAI), baru-baru ini mengembangkan pelayanan kurir, ekspres, dan parsel berbasis aplikasi. Itulah pasar yang selama ini diperebutkan JNE, J&T, JET Express, dan Tiki. Langkah ini mereka tempuh buat mengisi bagasi pesawat, lambung kapal, dan gerbong kereta yang kosong sejak Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi tiga perusahaan pelat merah itu memang babak-belur dihantam pandemi. Akibat pembatasan sosial berskala besar, penerbangan berjadwal Garuda pada semester pertama tahun ini anjlok lebih dari setengah dibanding periode yang sama tahun lalu. Sepinya penerbangan menyebabkan Garuda, yang sudah tertatih-tatih sebelum wabah, membukukan kerugian Rp 10,4 triliun pada paruh pertama tahun ini.

Pelni dan KAI setali tiga uang. Gara-gara pagebluk, KAI merugi Rp 1,35 triliun akibat jumlah penumpang melorot tajam. Jumlah penumpang non-Jabodetabek di Jawa pada semester pertama 2020 hanya 18,97 juta, turun 54 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Di tengah kelesuan usaha itu, BUMN transportasi memang mesti mencari terobosan untuk memperoleh sumber pendapatan baru agar bisa bertahan. Tapi ini bukan berarti mereka merambah lini usaha yang jauh dari bisnis inti. Kebijakan itu juga bertolak belakang dengan janji Menteri BUMN Erick Thohir, yang selalu menekankan perusahaan pelat merah harus berfokus pada bisnis inti.

Selama ini, tiga BUMN itu sebenarnya sudah punya lini usaha pelayanan logistik. Melalui anak usaha PT Aerojasa Cargo, Garuda menyediakan jasa pengiriman barang bagi perusahaan ekspres atau logistik. Begitu pula KAI, yang mengangkut barang dalam jumlah besar berbasis kontrak melalui kereta logistik. Kapal Pelni juga mengangkut kargo dan kontainer. Tapi itu belum cukup untuk menekan kerugian.

Peluang muncul di bisnis kargo retail seiring dengan pertumbuhan pasar e-commerce. Pangsa pasar kurir dan parsel di Indonesia tiga tahun dari sekarang diproyeksikan mencapai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 79,9 triliun. Jasa kurir dan bisnis online ternyata justru tumbuh pada saat pandemi. Jasa penjemputan barang (first mile) sampai pengantaran barang ke penerima (last mile) inilah yang disasar BUMN transportasi.

Upaya ini jelas melawan larangan praktik integrasi vertikal. Praktik ini memang bisa meningkatkan efisiensi dan laba, tapi jelas akan menghambat persaingan usaha yang sehat dan merugikan konsumen. Lagi pula, belum tentu langkah itu bisa menguntungkan BUMN transportasi karena perusahaan negara ini tidak memiliki pemahaman yang komplet tentang pelayanan kargo retail—yang karakteristiknya berbeda dengan bisnis transportasi.

Integrasi vertikal bisnis logistik itu juga kian meneguhkan peran perusahaan pelat merah di banyak sektor. Gejala kapitalisme negara ini menguat setelah Joko Widodo menjadi presiden pada 2014. Itu terlihat di proyek infrastruktur dan energi. Agar ini tak menjadi bumerang di kemudian hari, pemerintah harus lebih hati-hati menempatkan perusahaan negara sebagai satu-satunya motor yang bisa menyelesaikan berbagai tantangan ekonomi.

Dominasi perusahaan pelat merah itu juga bisa mematikan pemain swasta yang selama ini berkontribusi di pelayanan kurir dan parsel. Ujung-ujungnya, banyak orang akan kehilangan pekerjaan. Selain itu, kompetisi yang sehat jauh lebih menguntungkan konsumen.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus