Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI sekelompok aparat, aktivis hak asasi manusia dan lingkungan barangkali semacam “kerikil pengganggu roda pembangunan”. Karena itu, mereka perlu disingkirkan sejauh-jauhnya. Aparat pun bisa mencarikan dalih untuk keperluan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, digeledah polisi dengan alasan penyelidikan kasus narkotik. Zenzi sedang terlibat dalam kampanye menolak ekspor benih lobster. Ketua Adat Laman Kinipan Effendi Buhing diseret polisi seperti maling ketika terlibat sengketa lahan dengan perusahaan sawit, PT Sawit Mandiri Lestari. Effendi memperjuangkan tanah adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah yang dirawat turun-temurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlakuan terhadap Zenzi dan Effendi menambah panjang daftar upaya pembungkaman terhadap pembela lingkungan, terutama di daerah. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mencatat terjadinya peningkatan kekerasan terhadap pekerja hak asasi manusia di bidang lingkungan pada tahun ini dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Sepanjang 2019, Elsam merekam 27 kasus kekerasan dengan korban 128 individu dan 50 kelompok. Pada caturwulan pertama 2020, lembaga itu sudah menemukan 22 kasus kekerasan, dari penangkapan hingga perampasan tanah, dengan korban 69 individu dan 8 kelompok. Kekerasan ini bahkan lebih brutal hingga dua petani di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tewas dikeroyok petugas keamanan perusahaan sawit pada Maret lalu.
Ironisnya, sebagian besar pelaku kekerasan itu adalah penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim. Aparat negara, yang seharusnya melindungi masyarakat, malah menjadi aktor utama pelanggaran hak asasi manusia. Yang lebih buruk, tak ada penegakan hukum yang memadai terhadap para aktor negara tersebut.
Masalah ini makin parah ketika pengusaha berkolusi dengan pemerintah, yang memberikan izin pembukaan lahan dan hutan. Pemerintah daerah, politikus, penegak hukum, dan pejabat negara hanya melihat cuan yang dihasilkan dari perambahan hutan tersebut. Pendapatan haram itu mungkin digunakan untuk memperkaya diri atau mengongkosi aktivitas politik, seperti pemilihan kepala daerah.
Mereka abai bahwa lahan itu berada di hutan lindung yang mesti dirawat agar tak memicu bencana lingkungan. Mereka juga tak peduli bahwa di sana ada masyarakat adat yang sudah puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, merawat hutan tersebut—dan menggantungkan hidup pada alam di sekitarnya. Itu menjadi penyebab umum konflik lahan di negeri ini sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Wajarlah bila masyarakat itu memprotes dan mati-matian mempertahankan hak mereka.
Rezim perizinan tak peduli terhadap mereka. Bila perlu, undang-undang diubah buat memuluskan jalan bagi para pengusaha untuk merambah hutan negeri ini yang sudah makin berkurang. Para pekerja hak asasi pun hanya dirasa mengganggu dan harus disingkirkan. Bila ini terus terjadi, pembabatan hutan dan perusakan lingkungan akan makin parah. Bencana mengancam masyarakat dalam berbagai bentuk, dari kebakaran hutan hingga banjir.
Pemerintah semestinya menjamin keselamatan para penyelamat lingkungan itu. Aktivitas mereka bukanlah perbuatan kriminal, melainkan upaya menjaga bumi tetap layak ditinggali. Kepedulian kepada masyarakat adat juga tidak cukup ditunjukkan dengan mengenakan pakaian adat dalam seremoni kenegaraan semacam Hari Kemerdekaan. Memastikan keselamatan dan keamanan mereka jauh lebih bermakna.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo