Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia akan menghadapi prekariasi massal jika RUU Cipta Kerja berlaku.
Para prekariat sangat rentan karena tanpa perlindungan dalam berebut kue ekonomi.
Prekariat: precarious + proletariat.
NAMANYA Sis. Sebut saja begitu. Ia lulus S-2 dari sebuah universitas negeri di Jakarta. Pekerjaannya dosen tidak tetap dengan masa kontrak kerja yang berlaku per tahun. Sis punya waktu tiga tahun untuk mengikuti ujian menjadi calon pegawai negeri sipil. Jika lulus, ia diterima menjadi dosen tetap di universitas tempat dia sekarang mengajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa pandemi, Sis memasuki kontrak tahun ketiga sebagai dosen tidak tetap. Maka, jika ia gagal dalam tes CPNS tahun ini, sesuai dengan aturan, universitas akan memutus kontraknya. Sis terancam menjadi penganggur, meski punya gelar master di ujung namanya. Di belakang Sis, ada antrean dosen muda baru. Kalau kelak Sis gagal dalam tes, salah satu dari mereka akan menggantikannya dan menjadi dosen tetap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari ini, orang-orang seperti Sis menumpuk dan mengambil komposisi terbesar dalam struktur kelas pekerja di Indonesia.
Dari asal-muasal sektor, kondisi kerja, serta latar belakang kelas menengahnya, Sis sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan, misalnya, pekerja sektor informal atau pengemudi ojek aplikasi, yang bekerja dengan mengarungi jalan-jalan dengan penuh risiko. Keduanya disatukan oleh struktur kerja industrial masa kini: hidup tanpa jaminan kepastian kerja, tanpa perlindungan, dan tanpa kepastian pendapatan. Bagi Sis dan kompatriotnya, setiap hari adalah pertaruhan. Masa depan adalah periode pendek per 24 jam. Tanpa kepastian, nyaris mustahil baginya merencanakan masa depan keluarga.
Orang-orang seperti Sis disebut sebagai kaum “prekariat” (precariat, gabungan dua kata bahasa Inggris, precarious [rentan kolaps] dan proletariat). Guy Standing, ekonom University of London, mempopulerkan konsep ini untuk menunjukkan bahwa prekariat adalah “class in the making”: wujudnya belum terbentuk, arah politiknya belum jelas.
Prekariat adalah golongan sosial yang muncul sebagai akibat dari globalisasi neoliberal sejak 1970-an, yang mendorong penerapan kebijakan pasar tenaga kerja yang lentur dan merontokkan pelbagai perlindungan sosial. Posisi mereka dicirikan oleh kerentanan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari ketiadaan jangkar ekonomi dan kesejahteraan yang stabil.
Ketidakjelasan ini berakar dari posisi ekonomi dan sosial mereka yang terbelah dan berbeda-beda. Mereka terbentuk dan disatukan oleh psikologi kerentanan, instabilitas ekonomi dan sosial yang permanen, yang membuat mereka sulit menyandarkan hidup dalam perspektif jangka panjang. Kata Guy Standing (2011), the precariat knows there is no shadow of the future, as there is no future in what they are doing. Kondisi ini membuat prekariat mengalami empat A: anger, anomie, anxiety, and alienation.
Prekariat selalu ada dalam sejarah kapitalisme di pelbagai negara. Namun, di negara-negara Eropa dan Amerika, kejayaan industrialisasi setelah perang dunia dan kekuatan politik pekerja berhasil mendesakkan kepastian kerja serta mendorong konsolidasi negara kesejahteraan bagi mayoritas pekerja di sektor industri.
Di Indonesia, yang sejarahnya berbeda, jumlah mereka banyak dan terus membesar: merentang dari pekerja sektor informal, pekerja mandiri ataupun pekerja di sektor formal yang mengalami kasualisasi (menjadi karyawan lepas), hingga armada pengojek aplikasi dalam gigs economy kota-kota besar di Indonesia (Diatyka Widya Permata Yasih, Melbourne Asia Review, 2020).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dari 126,51 juta pekerja Indonesia, terdapat pekerja sektor informal sebanyak 70,49 juta orang. Angka ini lebih tinggi dari jumlah pekerja formal yang sebanyak 56,02 juta. Dalam kategori lain, per Agustus 2019 terdapat 89,96 juta pekerja penuh, 28,41 juta pekerja paruh waktu, dan 8,14 juta penganggur.
Dari data-data itu, jelas bahwa mereka yang ada dalam kondisi prekarisasi (precarization) demikian besar dan merupakan mayoritas dalam komposisi pekerja di Indonesia. Pandemi Covid-19 berimplikasi pada peningkatan kerentanan dan perluasan jumlah prekariat.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan ada dua akibat yang dihasilkan oleh krisis pandemi terhadap sektor informal. Pertama, hilangnya pendapatan langsung, mengingat sebagian besar usaha sektor informal mengandalkan pendapatan harian dan tidak memiliki tabungan atau bantalan finansial lain. Kedua, kerontokan di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah yang akan berakibat pada perluasan ekonomi informal dengan disertai meningkatnya jumlah penganggur, termasuk penganggur “friksional”. Dengan kata lain, krisis berakibat pada mengalirnya banyak orang menjadi pekerja lepas sehingga dengan itu menebalkan angkatan prekariat baru di Indonesia.
Merespons krisis ini, negara mengeluarkan kebijakan ekonomi berupa bantuan sosial untuk masyarakat miskin dan terkena dampak, yakni Program Keluarga Harapan dan bantuan langsung tunai, plus kredit untuk korporasi guna mencegah pemecatan massal, dan—yang ganjil—program Kartu Prakerja. Kebijakan ini dilaksanakan dengan maksud, salah satunya, menahan agar krisis kesehatan dan ekonomi tidak berubah menjadi krisis sosial. Sayangnya, targetnya terlampau terfokus atau bias pada sektor formal. Kerentanan ekonomi-sosial yang melebar dan makin dalam di sektor informal justru luput.
Yang juga fatal, sekaligus tipikal dalam masa krisis, adalah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat malah berupaya keras mengegolkan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yang secara ekstrem akan menerapkan prinsip fleksibilitas dalam manajemen ketenagakerjaan: easy hiring, easy firing—mudah merekrut, mudah pula memecat. Dengan ini, secara vulgar dan paradoksal, negara sebenarnya malah tengah memperluas dan memperdalam kondisi prekarisasi dari sektor informal ke sektor formal. Dari sini bisa kita perkirakan, dengan terbatasnya resep dan alternatif ekonomi, di masa depan bonus demografi secara pasti akan berujung pada prekarisasi. Masa depan milenial kita adalah semesta prekariat.
Guy Standing berargumen bahwa “the precariat does not feel part of a solidaristic labour community”. Prekariat di Barat mengidentikkan diri di luar kelas pekerja klasik. Dengan itu mereka juga merasa bukan bagian dari solidaritas buruh konvensional. Ini terjadi sebagai akibat dari lemahnya identitas berbasis kerja, yang berimplikasi pada kebebasan dan longgarnya komitmen pada disiplin kerja. Ini pula yang memberi mereka perasaan berbeda dengan buruh pada umumnya.
Dalam konteks Eropa dan Amerika, Standing mengatakan politik prekariat akan dengan sendirinya terserap ke dalam dua kemungkinan: dicaplok oleh gerakan populisme kanan atau muncul sebagai sebuah kelas baru. Barangkali itu sebabnya bahkan dewan redaksi media pro-pasar Financial Times, dalam editorial 11 Agustus 2020, menyuarakan putusan pengadilan Negara Bagian California, daerah yang disebut sebagai tanah sucinya gigs economy, yang mendesak perusahaan taksi aplikasi, seperti Uber dan Lyft, memposisikan para sopir selayaknya pegawai yang dilindungi dengan tunjangan sakit, asuransi kerja, dan tunjangan hari libur.
Pengadilan California mendesak perusahaan-perusahaan gigs economy itu keluar dari zona abu-abu yang selama ini melindungi mereka dari kewajiban-kewajiban kepada pekerja. Dengan pendapat itu, hakim pengadilan California sebenarnya mendesakkan sejenis “formalisasi” yang menancapkan bukan hanya kepastian, tapi juga identitas kelas pekerja yang lebih solid.
Pengaburan identitas pekerja di kalangan prekariat disuntikkan oleh mekanisme ideologis yang diciptakan dalam ideal-ideal kewirausahaan dan “mitra” yang menghasilkan ilusi sosial sebagai “pengusaha mandiri” ketimbang pekerja. Meski demikian, penyangkalan identitas kelas ini tidak dengan serta-merta mematikan energi dan respons politik atas tekanan yang mereka alami sehari-hari.
Dalam penelitian mutakhir, Diatyka Yasih menemukan adanya kecenderungan pencarian saluran dan identitas politik prekariat muda di Jakarta yang bermuara pada organisasi-organisasi vigilantis di Ibu Kota. Organisasi-organisasi itu secara fungsional memberikan ikatan sosial, mewadahi dan mengalirkan kerentanan, sekaligus menyalurkan frustrasi, kegelisahan, dan kemarahan mereka (Diatyka Widya Permata Yasih, Journal of Contemporary Asia, 2017). Penelitian Yasih sedikit-banyak memberikan gambaran mengenai implikasi dan formasi politik yang bakal terbentuk dari gelombang prekarisasi di Indonesia.
Krisis dan kebijakan negara sudah pasti memagnifikasi gelombang raksasa prekariat di masa depan. Namun bagaimana arah dan bentuk politik prekariat akan sangat ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu melampaui fragmentasi dalam asal-usul sektoral yang beragam. Meski demikian, sebagaimana disebutkan oleh Guy Standing, kelonggaran identitas prekariat juga menjadikan mereka kelas “yang berbahaya”.
Di Eropa, kehadiran mereka bisa dipakai memperkuat kekuatan politik populis kanan. Sedangkan di Indonesia, sebagaimana ditemukan Yasih, energi politik mereka dengan mudah terserap dalam kelompok-kelompok vigilantis di kota. Dengan itu, di masa depan, Indonesia bakal menghadapi generasi pekerja rentan yang serba gelisah.
Untuk menghindar dari krisis dan ketegangan sosial di masa depan, Indonesia semestinya belajar dari pendapat hakim di California yang memvonis Uber dan Lyft agar berupaya lebih banyak untuk mengukuhkan hubungan kerja yang lebih fair dan menjamin kepastian. Untuk itu, Indonesia bisa nemulai dengan membatalkan pasal-pasal dalam omnibus law yang memperluas prekarisasi dan ketidakpastian hidup para pekerja, seperti Sis dan teman-temannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo