Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH perlu segera mengumumkan apa opsi yang dipilih untuk menyelesaikan krisis keuangan di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Strategi untuk Garuda harus memakai perhitungan bisnis, bukan pertimbangan politik apalagi nasionalisme semu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selaku pemegang saham terbesar, Kementerian Badan Usaha Milik Negara sudah mengumumkan empat opsi untuk membereskan masalah Garuda Indonesia. Setiap opsi itu memiliki risiko sendiri-sendiri. Yang dibutuhkan saat ini adalah ketegasan pemerintah untuk segera memilih satu opsi yang paling rasional, dengan beban terendah buat keuangan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Opsi untuk memberi suntikan modal baru atau pinjaman dari pemerintah harus dibuang jauh-jauh karena berisiko membuat anggaran negara tersedot cukup besar. Apalagi suntikan dana itu belum tentu menarik Garuda keluar dari kubangan utang.
Tiga opsi lain sama-sama sulit tapi lebih masuk akal. Opsi merestrukturisasi utang dengan skema penundaan kewajiban pembayaran utang, misalnya, memang belum tentu mulus. Manajemen Garuda harus berhadapan dengan kreditor dan regulasi di negara lain, yang mungkin tak kompatibel dengan upaya restrukturisasi. Sedangkan pilihan ketiga dan keempat, yakni mendirikan maskapai penerbangan nasional baru atau melikuidasi Garuda, membutuhkan kajian pasar yang saksama. Apalagi opsi itu juga membutuhkan dana sedikitnya US$ 1,2 miliar.
Jelas tak ada pilihan gampang. Di sini, kapabilitas direksi dan komisaris Garuda diuji, apakah mereka mampu mengambil keputusan yang tepat atau justru menjerumuskan maskapai ke jurang masalah yang lebih dalam. Di tengah pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, pasti sulit memastikan kapan bisnis Garuda, juga maskapai penerbangan lain, dapat kembali pulih. Dalam kondisi genting semacam ini, analisis bisnis yang dipengaruhi pertimbangan-pertimbangan politik bisa mengacaukan pengambil kebijakan.
Menunda-nunda pengambilan keputusan juga bukan strategi yang baik. Pembayaran cicilan utang Garuda akan terus menumpuk jika para pemegang saham tak segera memilih salah satu opsi. Laporan keuangan Garuda menyebutkan, pada akhir kuartal III 2020, utang jangka pendeknya mencapai Rp 67,06 triliun dan utang jangka panjang Rp 80,91 triliun. Dengan pendapatan Rp 16,15 triliun, anjlok 67,8 persen dari kuartal III 2019, Garuda harus segera menegosiasikan perpanjangan termin pembayaran dan mengurangi bunga utang kepada kreditor.
Dalam skema renegosiasi itu, yang mendesak untuk dipangkas adalah utang dari pembelian ataupun sewa-beli pesawat yang bermasalah di masa lalu. Rencana Menteri BUMN Erick Thohir dan Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra “bertarung” dengan 36 lessor asing layak mendapat dukungan publik. Apalagi ada unsur korupsi dalam sebagian proses pengadaan pesawat ini. Pemetaan klasifikasi pemasok dan lessor pesawat harus segera berjalan. Mereka yang memasok pesawat dengan cara lancung, seperti menyuap direksi Garuda, tak layak mendapat prioritas pembayaran.
Efisiensi juga harus berlanjut. Pengurangan jumlah karyawan, direksi, dan komisaris Garuda kudu berlangsung dengan win-win solution. Ini seharusnya berjalan paralel dengan pemangkasan rute tak produktif dan penghapusan pos biaya yang tidak mendesak.
Yang juga penting adalah merumuskan kembali model bisnis Garuda yang tak lagi perkasa di masa pandemi. Tanpa itu, semua kucuran duit segar pasti habis untuk menambal neraca yang defisit. Jika semua opsi sudah dikaji, dan pilihan jatuh pada likuidasi, itu pun tak perlu diratapi. Banyak negara dengan perekonomian yang sehat juga tak punya maskapai penerbangan pelat merah.
Catatan:
Artikel mengalami perbaikan pada Ahad, 6 Juni 2021, pukul 12.47. Sebelumnya pada paragraf 6 tertulis laba Garuda anjlok 146 persen dari kuartal III 2019. Semestinya, 67,8 persen.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo