Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGUATNYA populisme agama, kembalinya paham organisisme-negara, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, menyempitnya kebebasan berekspresi dan ruang sipil, serta berlarut-larutnya kekerasan di Papua telah mendatangkan tanda tanya mengenai masa depan demokrasi di Indonesia.
Para ahli Indonesia di beberapa negara secara halus dan penuh simpati khawatir terhadap proses regresi dalam demokrasi di Indonesia (Meitzner, 2018; Hadiz, 2004; 2016). Sebagian lagi menganjurkan untuk terus memperhatikan gejala-gejala democratic fragility dalam politik Indonesia, dengan kekhawatiran jangan sampai Indonesia ikut jatuh sebagaimana Filipina, yang demokrasi dan hak asasinya berantakan di tangan populis yang didukung secara fanatik oleh rakyat banyak. Atau seperti Thailand, yang secara praktis kini diperintah oleh kuasi-junta militer (Aspinall dan Warburton, 2017). Kekhawatiran yang simpatik itu sungguh bertolak belakang bila dibandingkan dengan semangat dan gegap-gempita yang hadir menjelang tahun-tahun pemilihan umum di Indonesia dalam enam tahun terakhir ini.
Sayangnya, ancaman regresi dan kerentanan demokrasi ini tidak mendapat perhatian serius dari banyak aktor demokratik di Indonesia. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terserapnya mereka dalam polarisasi politik pasca-pemilu yang berkepanjangan serta menguatnya idolisasi dan fanatisme buta yang membuat ruang kritik dan diskursus publik yang sehat makin sempit. Politik demokrasi di Indonesia makin mengalami personalisasi dengan akibat diabaikannya dimensi-dimensi institusional serta relasi struktural kekuasaan dan ekonomi yang menyejarah di negara ini.
Demokrasi sudah dianggap selesai dan tuntas. Indonesia sudah dianggap dengan sendirinya selamat apabila si A atau si B yang menjadi gubernur atau presiden atau wali kota. Idolisasi dan personalisasi politik dalam demokrasi di Indonesia bisa dirujuk dalam beberapa sebab. Salah satunya, makin kuatnya peran media sosial serta industri pencitraan politik yang telah mengubah politikus menjadi idola dan mengubah artis menjadi politikus. Faktor kedua yang juga penting adalah menguatnya ide mengenai “orang baik”, yang dipakai sebagai kerangka moral publik untuk memilih politikus di sebuah negara demokratis.
“Orang Baik Memilih Orang Baik”, kata sebuah slogan kampanye yang beredar menjelang pemilihan presiden 2014. Pada tahun yang sama, Anies Baswedan, yang berkampanye untuk pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dalam video berjudul “Anies Baswedan’s Great Speech: Mengapa Jokowi?” mengatakan, “Kalau ada orang baik ingin mengurus, dia akan kalah jika orang baik yang lain diam.” Lima tahun kemudian, gagasan memilih “orang baik” masih terus dipakai dan dilanjutkan dalam Pemilu 2019.
Dalam sebuah seminar, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia menyerukan “pemilih yang baik memilih pemimpin yang baik”. Ide memilih orang baik juga mendasari banyak kalangan akademikus, melalui pelbagai lembaga konsultan politik, untuk ikut serta mempersiapkan dan membantu calon presiden, calon gubernur, atau calon anggota legislatif dalam proses politik elektoral, enam tahun belakangan ini. Penelitian Dave McRae dari Asia Institute The University of Melbourne (2019) mengungkap salah satu alasan keterlibatan akademikus di universitas-universitas negeri dalam politik elektoral adalah keyakinan bahwa perubahan politik hanya bisa dilakukan apabila politik dipegang oleh orang baik.
Preferensi moralis “orang baik memilih orang baik” secara tidak langsung membuat pilihan elektoral berubah menjadi sikap esensialis yang berbahaya. Esensialisme dalam tesis orang baik membentuk demarkasi politik yang rigid dan mengubah demokrasi elektoral di Indonesia menjadi sejenis konfrontasi moral yang berkepanjangan hingga ke hari-hari belakangan ini. Kami orang baik, sehingga yang bukan kami dengan sendirinya bukan orang baik. Konfrontasi ini sebenarnya bersifat hipokrit mengingat, dalam kompetisi politik ketika proses pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan kekuatan modal dan oligarki, tidak pernah ada politikus yang sungguh-sungguh baik.
Personalisasi dan fanatisme inilah yang kemudian membuat banyak “orang baik” melupakan dimensi struktural dari politik, seperti kekuasaan oligarki dalam pembentukan elite kekuasaan, operasi kartel politik dalam distribusi kebijakan, serta klientalisme dan patronase yang telah mengubah politik menjadi komoditas. Sementara fan “orang baik” terus-menerus terpikat pada populisme dan personalisasi, demokrasi secara perlahan mengalami defisit.
Akibat lain dari “tesis orang baik” adalah relasi dan arah demokrasi dipandang sebagai akibat keunggulan atau kesalahan pilihan-pilihan politik individual elite. Misalnya, regresi dalam demokrasi dianggap sebagai akibat dari keterbatasan pilihan yang tersedia yang dihadapi oleh elite, sehingga mendorong mereka mengambil kebijakan iliberal yang membahayakan demokrasi.
Cara pandang personal ini terbukti tidak dapat menjelaskan demokrasi sebagai praktik dan perjuangan historis. Ia gagal memahami fakta historis bahwa sesungguhnya keringkihan dalam demokrasi di Indonesia (democratic fragility) mengendap cukup lama dalam bangunan struktur negara dan masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan demokrasi, sejarah politik Indonesia memiliki dua cacat. Pertama, dalam sejarahnya, Indonesia tidak pernah dicita-citakan menjadi negara liberal. Kenyataan ini terbaca dengan jelas dalam debat sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Liberalisme—meski secara politik pernah hidup dalam era Konstituante—selalu dikutuk sebagai biang keladi kekacauan. Bahkan kini, meski telah berpuluh tahun setelah era Konstituante, liberalisme secara resmi tidak pernah diharapkan sebagai nilai politik dalam ketatanegaraan di Indonesia. Akibatnya, demokrasi Indonesia adalah demokrasi tanpa penghargaan kepada kebebasan hak-hak individu. By default pandangan negara Indonesia adalah negara kekeluargaan yang sangat bertolak belakang dengan pendirian demokrasi dan liberalisme (Bourchier, 2015).
Cacat kedua adalah melekatnya budaya kekerasan dalam politik Indonesia yang terpatri dalam sejarah konflik dan tragedi. Ketidakmampuan demokrasi Indonesia pasca-Soeharto dalam memberi nama pada tragedi kekerasan dan pelanggaran hak asasi masa lampau berakibat pada lestarinya kultur kekerasan dalam kepolitikan Indonesia. Ini pula yang menyebabkan demokrasi pluralistis di Indonesia tidak pernah berlaku secara prinsipiil dan luas. Pluralisme dalam demokrasi pluralis di Indonesia adalah pluralisme iliberal produk akomodatif politik dan sejarah Orde Baru. Cacat historis ini secara prinsipiil menjadikan demokrasi di Indonesia hidup tanpa dukungan kebebasan yang cukup. Inilah yang menyebabkan iliberalisme dan keringkihan dalam demokrasi di Indonesia menjadi bersifat permanen.
Di hadapan persoalan-persoalan yang menyejarah, mengharapkan perubahan melalui postulat “orang baik memilih orang baik” sebenarnya sedikit menggelikan. Argumen “orang baik” sama sekali mengabaikan struktur, sejarah, dan dimensi institusional dari demokrasi dan politik. Jelas juga bahwa tesis itu lebih bersifat fungsional sebagai gimmick dangkal dalam kampanye-kampanye elektoral, meski perlu diakui juga bahwa ia punya implikasi diskursif yang cukup membahayakan karena ternyata sanggup membelah masyarakat secara moral.
Analisis mengenai demokrasi dan politik Indonesia belakangan ini memang makin didominasi oleh pendekatan perilaku dan personal. Pendekatan semacam ini memang bisa menyajikan deskripsi yang mudah untuk keperluan politik elektoral. Dalam tingkat tertentu, ia juga bisa menjelaskan dinamika politik sebagai pergeseran preferensi para aktor dan pemilih. Namun, karena sifat-sifat ahistoris di dalamnya, pendekatan perilaku sering kali gagal memahami konteks dan struktur dari sebuah masyarakat demokratis dan bagaimana demokrasi terbentuk di situ, sehingga lebih jauh ia gagal dalam memberi ideal-ideal perubahan yang lebih berarti untuk memperluas demokrasi.
Kelemahan terbesar dari tesis “orang baik” adalah kegagalan dalam menjelaskan faktor-faktor kemerosotan demokrasi dan menyempitnya civic space. Ia juga gagal menjelaskan mengapa gejala kemerosotan demokrasi itu juga terjadi di sebagian besar negara Asia Tenggara.
Sejumlah pengamat meramalkan gelombang demokratisasi yang pernah disebut-sebut Huntington kini sedang bergerak secara terbalik dengan makin banyaknya negara yang menjauh dari demokrasi dan kembali ke rezim otoritarian. Dalam era dan gerak zaman yang sedang berbalik kembali ke arah otoritarianisme, mempertahankan tesis “orang baik memilih orang baik” adalah satu aksi politik yang menggelikan dan sama sekali dangkal.
Sejarah Reformasi 1998 memberi pelajaran penting bahwa demokrasi dan momen liberalisasi politik di Indonesia tidak pernah muncul dan dihasilkan oleh “orang baik”. Perubahan politik yang berarti di Indonesia selalu dimulai dari sebuah postulat bahwa perubahan itu mungkin, bukan dimulai dari sebuah klaim antropologi moral yang dangkal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gagalnya Tesis Orang Baik"