Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Urusan penghargaan dan hukuman menjadi wilayah abu-abu bagi Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. Hal itu jelas terlihat pada keputusan Rini memindahkan Suprajarto dari direktur utama di PT Bank BRI ke PT Bank BTN, yang tidak didasari pertimbangan kinerja sang bankir. Menteri Rini seyogianya menjalankan tata kelola yang baik pada akhir masa jabatannya.
Pergeseran jabatan itu berujung gaduh ketika Suprajarto, yang baru dua tahun memimpin BRI, menolak menempati pos barunya. Membawa BRI meraih laba terbesar pada tahun lalu—Rp 32,4 triliun—ia merasa dihukum karena ditempatkan di bank dengan ukuran jauh lebih kecil. Ia juga menyatakan tidak diajak berkomunikasi sebelum keputusan diambil melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa BTN, Kamis dua pekan lalu.
Kegaduhan pergantian jabatan itu tak perlu terjadi jika Presiden Joko Widodo konsisten dengan pernyataannya. Pada Juli lalu, ia melarang para menteri mengambil kebijakan strategis, termasuk mengganti para pejabat BUMN, sampai terbentuk kabinet baru pada Oktober 2019. Alih-alih melarangnya, ia menyetujui langkah Rini dalam perombakan manajemen bank-bank pelat merah, terutama BRI, BNI, dan BTN. Jokowi menyebutkan larangan hanya berlaku untuk “pergantian direksi BUMN yang tanpa sepengetahuan saya”.
Pergantian anggota direksi ataupun komisaris BUMN memang merupakan kewenangan Menteri BUMN sebagai wakil pemegang saham milik pemerintah. Namun ukuran-ukurannya mestilah transparan dan berbasiskan kinerja. Agak aneh jika seorang direktur utama yang diakui tidak melakukan kesalahan fatal diganti di tengah jalan, bukan melalui rapat umum pemegang saham tahunan. Empat direktur yang dianggap sebagai “orang Suprajarto” kemudian juga dicopot. Apalagi, pada saat yang sama, Menteri Rini tak melakukan tindakan apa pun terhadap Direktur Utama PT Garuda Indonesia yang oleh Otoritas Jasa Keuangan dinyatakan terbukti merekayasa laporan keuangan.
Di sinilah sistem reward and punishment seolah-olah tidak berlaku di tangan Menteri Rini. Anggota direksi yang berkinerja baik dicopot, sedangkan yang melakukan kesalahan justru dipertahankan. Hal ini menimbulkan syak wasangka: penempatan pengisi posisi-posisi penting dilakukan atas dasar suka atau tidak suka, bukan berbasis kinerja. Sungguh disayangkan jika ini terjadi karena publik telah dirugikan dengan keputusan-keputusan pada perusahaan terbuka itu.
“Gaya khas” Menteri Rini dalam mengelola perusahaan negara juga terlihat dalam perombakan manajemen BRI. Tahun ini, ia memerintahkan tiga kali rapat umum pemegang saham—hal yang belum pernah terjadi pada bank pelat merah terbesar itu. Pada Januari lalu, ia bahkan membentuk pos baru, yakni wakil direktur utama yang diberi kewenangan di bidang-bidang utama di BRI. Keputusan ini menciptakan “matahari kembar”, persis seperti ketika Rini hendak mengganti Direktur Utama PT Pertamina pada awal 2017.
Menteri Rini seyogianya tidak mengambil keputusan strategis menjelang akhir kepemimpinannya. Ia bisa melakukannya nanti, jika pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin menunjuknya kembali sebagai Menteri BUMN. Sebaliknya, keputusan strategis akan menyulitkan penggantinya jika Rini tak lagi memimpin kementerian itu.
Presiden pun perlu konsisten melarang para menteri mengambil keputusan strategis pada akhir pemerintahan periode pertamanya. Perusahaan-perusahaan negara mesti dijauhkan dari keputusan yang merugikan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo