Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Disertasi Abdul Aziz, mahasiswa doktoral Interdisciplinary Islamic Studies pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, adalah sebuah karya ilmiah yang selayaknya disambut sebagai tawaran konsep pemikiran alternatif. Publik tak perlu mencak-mencak, apalagi sampai meneror sang akademikus. Pernyataan Majelis Ulama Indonesia yang menyebut disertasi itu sesat juga berlebihan.
Disertasi Abdul Azis mengkaji pandangan Muhammad Syahrur, profesor emeritus teknik sipil Universitas Damaskus, Suriah, tentang tafsir Al-Quran mengenai hubungan seks di luar pernikahan. Menurut tafsir milk al-yamin sebagaimana dijelaskan Syahrur, zina baru terjadi ketika hubungan seks dipertontonkan. Sedangkan bila orang dewasa bersanggama di ruang privat, atas dasar suka sama suka, dan tidak ada unsur penipuan, tindakan itu tidak tergolong zina.
Abdul menjelaskan bahwa disertasinya berangkat dari keprihatinan atas kriminalisasi pelaku hubungan seks nonmarital konsensual. Di beberapa daerah, pasangan yang tertangkap basah ber-asyik-masyuk, meski suka sama suka, kerap dipersekusi. Konsep alternatif ini juga relevan ketika publik tengah membahas rencana Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu pasal yang diusulkan dalam RUU tersebut akan mengkriminalisasi hubungan laki-laki dan perempuan di luar pernikahan.
Dengan demikian, tidak ada yang keliru dari disertasi Abdul Azis. Apalagi, sampai saat ini, tidak ada indikasi bahwa dia melakukan plagiarisme atau pelanggaran etika akademis lain. Pemikiran Abdul ada di ranah kebebasan akademis, bukan agama, apalagi iman. Kebenaran akademis pun jelas bukan kebenaran imani.- Maka tak ada alasan untuk memaksa Abdul meminta maaf atas buah pikirannya itu.
Majelis Ulama Indonesia semestinya paham betul bahwa hukum tertinggi syariah secara faktual adalah ijmak. Walaupun Aziz mampu menghadirkan dalil-dalil Al-Quran dan hadis untuk menguatkan argumentasinya, tetap dibutuhkan ijmak ulama untuk membuat sebuah gagasan diterima sebagai tafsir resmi hukum Islam. Apa yang dilakukan Abdul sebatas membuka ruang diskusi yang sehat karena pemikirannya dilandasi bukti dan argumentasi. Ikhtiar Abdul harus dibalas dengan argumentasi tandingan, bukan diberangus dengan label sesat.
UIN Sunan Kalijaga juga tak boleh cuci tangan dalam polemik disertasi ini. Disertasi adalah karya bersama, bukan produk eksklusif dari promovendus, tapi juga melibatkan promotor dan penguji. UIN seharusnya mendukung Abdul dan mendudukkan perkara ini pada tempatnya, bukan ikut-ikutan menekan mahasiswanya untuk minta maaf. Tanpa dukungan seluruh civitas academica, kebebasan akademis tak mungkin tegak.
Kita seolah-olah tak pernah belajar dari sejarah. Delapan tahun lalu, kasus serupa menimpa sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola. Dia dipaksa meminta maaf kepada masyarakat Dayak dan memusnahkan hasil penelitiannya hanya karena menyebut ada orang Dayak yang berhubungan badan tanpa ikatan perkawinan. Lima puluh tahun lalu, pada 1968, Slamet Muljana juga harus merelakan tesisnya dibredel karena menyebut para sunan Walisongo berasal dari Cina.
Tekanan dan pembatasan pada kebebasan akademis hanya akan membuat kita berjalan mundur. Publik akan terperangkap dalam kejumudan berpikir dan dogma-dogma. Tanpa kemampuan berpikir kritis dan rasional, masyarakat mudah diperdaya oleh pemimpin palsu dan janji-janji surgawi. Demi kemaslahatan kita bersama, Abdul seharusnya tak perlu minta maaf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo