Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN bebas terhadap aktivis lingkungan penolak tambak udang Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, pada Mei lalu memberikan angin segar bagi kebebasan berekspresi warga negara, khususnya bagi para pembela lingkungan hidup. Meski demikian, putusan ini tidaklah membuat ancaman kriminalisasi terhadap para pembela lingkungan berhenti. Sebab, putusan tersebut cenderung dipandang masih sebatas kasuistik (by case), belum berdasarkan komitmen kelembagaan negara secara sistemis (by system).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, pola yang digunakan untuk membungkam Daniel masih sangat mungkin kembali digunakan terhadap mereka yang kukuh memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya. Selama negara tidak mengevaluasi total cara pandang penegakan hukum dalam perkara yang melibatkan para pembela lingkungan hidup, serangan-serangan terhadap mereka hanya menunggu waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika dibaca secara saksama, petikan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 374/PID.SUS/2024/PT SMG memang menyatakan Daniel Frits dibebaskan karena terbukti sebagai aktivis pembela lingkungan hidup. Namun, anehnya, cara pandang majelis hakim justru menyisakan persoalan cara pandang terhadap kebebasan berekspresi.
Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Tinggi Semarang justru menyatakan bersepakat dengan pendapat majelis hakim Pengadilan Negeri Jepara, yang menyatakan perbuatan Daniel merupakan bentuk ujaran kebencian yang diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Padahal posisi Daniel sebagai pembela lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dengan kebebasan ekspresi pembelaannya terhadap lingkungan hidup. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Entitasnya sebagai aktivis lingkungan hanya akan berfungsi dengan ekspresi yang dihasilkannya.
Lingkungan sebagai Hak Konstitusional
Lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak konstitusional warga negara. Hal ini bersifat mandatori, sesuai dengan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945. Pasal itu menyatakan secara eksplisit bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."
Karena lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak konstitusional, konsekuensinya, negara harus hadir dan bertanggung jawab penuh untuk memastikan hak tersebut dipenuhi dan dilindungi dengan baik. Namun negara selama ini seperti “orang hilang” yang tak jelas rimbanya. Negara seolah-olah kabur dan menyisakan kegagalan dalam memenuhi hak konstitusional warga negaranya. Di sisi lain, negara melalui pemerintah pulalah yang selama ini menginvestasikan kejahatan lingkungan hidup dengan menggelar karpet merah bagi aktivitas korporasi yang mengeksploitasi alam dan menghajar lingkungan hidup tanpa ampun.
Eksploitasi alam secara brutal oleh korporasi inilah yang menjadi kekhawatiran dan dasar untuk meletakkan “nuansa hijau” yang berwawasan lingkungan dalam perubahan UUD 1945. Khususnya dalam ketentuan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945. Jimly Asshiddiqie dalam “Green Constitution: Nuansa Hijau dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” menguraikan bahwa UUD 1945 telah mengadopsi ide mengenai pentingnya lingkungan alam dalam sistem kekuasaan negara.
Ketentuan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang ditetapkan melalui perubahan keempat pada 2002 sebetulnya telah mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pengakuan dan penerimaan kedua prinsip ini sebagai norma dasar dalam rumusan hukum tertinggi di Indonesia menunjukkan bahwa alam pikiran yang terkandung dalam UUD 1945 mengalami perubahan yang sangat mendasar. Bangsa Indonesia tidak diperbolehkan melakukan usaha-usaha pembangunan yang merusak alam dan tidak berwawasan lingkungan.
Imunitas bagi Pejuang Lingkungan
Sebagai hak konstitusional, siapa pun yang berdiri tegak memperjuangkan kepentingan lingkungan hidupnya harus diberi kekebalan atau “imunitas”. Dia tidak boleh diperkarakan secara hukum atas ekspresi perjuangannya terhadap lingkungan hidup.
Dalam Black Law Dictionary, imunitas ini didefinisikan sebagai pembelaan terhadap tanggung jawab perbuatan melawan hukum yang diberikan kepada semua kelompok atau kelas orang atau entitas dalam keadaan di mana pertimbangan kebijakan publik dianggap memerlukan perlindungan khusus bagi orang, aktivitas, atau entitas yang bersangkutan dengan mengorbankan mereka yang dirugikan olehnya.
Namun, alih-alih diberi imunitas, kriminalisasi terhadap para aktivis lingkungan justru sudah seperti tontonan sehari-hari. Mengutip data Auriga Nusantara, dalam kurun waktu 2014-2023, tercatat setidaknya ada 133 ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia. Bentuknya pun beragam: 82 kasus kriminalisasi, 20 kasus kekerasan fisik, 15 kasus intimidasi, 12 kasus pembunuhan, serta kasus deportasi dan perusakan properti masing-masing 2 kasus.
Padahal imunitas semestinya menjadi bagian yang inheren dalam diri setiap pembela lingkungan hidup. Kita mengenal imunitas ini sebagai prinsip anti-SLAPP (strategic lawsuit against public participation) yang secara tegas juga dibunyikan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Isinya, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Bahkan, secara teknis, sudah ada ketentuan penanganan perkara dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Namun mengapa kriminalisasi terhadap pembela lingkungan terus terjadi?
Kondisi ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, perspektif pemerintah dan aparat penegak hukum yang lemah terhadap lingkungan hidup. Padahal prinsip anti-SLAPP seharusnya sudah cukup menjadi “raison d’etre” dalam menolak perkara yang menyasar para pembela lingkungan.
Kedua, pemerintah dan aparat penegak hukum cenderung menjadi “juru bicara” bahkan pembela korporasi atau pemilik modal. Dan ketiga, lemahnya penegakan hukum terhadap pembungkaman para aktivis lingkungan, yang membuat ketiadaan efek jera (deterrent effect) bagi para pelaku. Ketiga hal ini membuktikan negara telah gagal total melindungi imunitas yang seharusnya melekat bagi setiap pembela lingkungan hidup.
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.