Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ISTANA bersolek hari-hari ini. Jadi pusat perhatian dalam perayaan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang ke-79. Kemarin, puncak perayaan itu berlangsung di dua istana. Yang satu di halaman Istana Merdeka, Jakarta; dan satu lagi di Istana Garuda, Ibu Kota Nusantara (IKN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita masih punya lima istana lainnya, yakni Istana Negara yang berada dalam satu kompleks dengan Istana Merdeka. Ada Istana Bogor, ada Istana Yogyakarta yang disebut Gedung Agung, dan ada Istana Cipanas. Nun jauh di Bali ada Istana Tampaksiring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo alias Jokowi pernah berencana membuat istana di Papua. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Papua pada September 2019, Jokowi menyebutkan rencana itu sebagai tanda perhatian terhadap warga Papua. Rencana tersebut menguap karena ada wabah Covid disusul upaya pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Lantas, Istana Garuda dibangun di IKN. Garuda dengan moncong menunduk sehingga dalam berbagai foto terlihat seperti kelelawar besar.
Untuk siapa istana-istana itu? Istana merupakan sebutan untuk tempat tinggal presiden yang sedang menjabat. Jika terletak di luar ibu kota negara, istana berfungsi sebagai tempat presiden menginap saat sedang berkunjung. Dari tujuh istana yang ada, termasuk Istana Garuda di IKN, lima istana adalah warisan dari masa kolonial. Hanya Istana Tampaksiring di sebuah desa pegunungan di Bali yang bukan warisan masa kolonial. Istana tersebut dibangun pada era Presiden Sukarno. Bung Karno membangun istana itu dengan niat melihat alam yang indah sambil memandangi orang-orang Bali yang melakukan “penyucian diri” di kolam yang sakral di Pura Tirta Empul. Istana ini dibangun pada 1957 dan selesai pada 1963. Arsitekturnya sangat kental dengan nuansa lokal Bali.
Istana lainnya memiliki arsitektur bergaya Eropa. Istana Negara dibangun pada 1796 di masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan selesai pada 1804 di masa Gubernur Johannes Siberg. Istana Merdeka dibangun pada 1873 di bawah pemerintahan James Lindon dan rampung pada 1879 di masa pemerintahan Johan Willhem van Landsberge. Istana Cipanas dibangun pada masa Gubernur Gustaaf Willem Baron van Imhoff pada 1742. Istana Bogor juga dibangun atas ide van Imhoff pada 1744, tapi pengerjaannya pada masa Gubernur Charles Ferdinand Pahud de Montager. Istana Yogyakarta dibangun pada 1824 oleh pemerintahan Residen Anthonie Hendriks Smissaert.
Apakah semua presiden memanfaatkan istana sebagai tempat tinggalnya? Tidak juga, setiap presiden punya selera masing-masing. Bung Karno tercatat sebagai presiden yang memfungsikan sepenuhnya istana sebagai kediaman. Tidak hanya istana yang ada di Jakarta dan Bogor, tapi juga di luar kedua kota itu. Jika berkunjung ke Bali, Bung Karno pasti menginap di Istana Tampaksiring. Bahkan Megawati Soekarnoputri lahir dari rahim Ibu Negara Fatmawati di Istana Yogyakarta pada 23 Januari 1947.
Presiden Soeharto tak tinggal di istana. Dia menjadikan rumah pribadinya di Jalan Cendana sebagai istana tak resmi dengan sebutan “Kediaman Cendana”. Tamu penting juga diterima di “kediaman”. Adapun Presiden Habibie, Megawati, dan Abdurrahman Wahid, karena masa jabatannya yang pendek, tak punya banyak kesan pada istana kepresidenan. Susilo Bambang Yudhoyono pun tampaknya tak akrab dengan istana. SBY tercatat hanya menggunakan Istana Cipanas saat acara pernikahan putranya, Edhie Baskoro Yudhoyono, dan Aliya Rajasa pada 24 November 2011. Istana Tampaksiring bahkan hampir tak pernah dipakai untuk acara kenegaraan oleh semua presiden setelah era Bung Karno. Istana yang sepi.
Jokowi punya pandangan unik tentang istana. Dia merasa setiap hari “diteror” oleh bau kolonial yang ada di istana. Namun dialah presiden yang paling memanfaatkan istana, termasuk untuk acara-acara kekeluargaan. Jokowi menikmati betul Istana Negara, Istana Merdeka, Istana Bogor, dan Istana Yogyakarta bersama keluarganya.
Bagaimana sebaiknya memfungsikan istana-istana itu? Barangkali perlu dibuka selebar-lebarnya untuk rakyat. Entah untuk pergelaran seni budaya atau semacam museum yang menyimpan peninggalan sejarah. Tak perlu dikaitkan dengan kolonialisme karena ini adalah sejarah bangsa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo