Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Lanskap Politik Perkara Sambo

Polisi menetapkan Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, sebagai tersangka pembunuhan berencana Brigadir Yosua. Saat tepat reformasi Polri.

20 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERSEOK-SEOK di awal penyidikan, polisi tak punya pilihan selain membuka misteri kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Perkembangan terakhir adalah penetapan Putri Candrawathi, istri mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, sebagai tersangka pembunuhan berencana, menyusul suaminya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penetapan itu mematahkan kebohongan Ferdy Sambo dan kawan-kawan yang semula ingin mengarahkan penembakan Yosua sebagai bentrok di antara dua ajudan. Ferdy dan ajudannya, Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu, yang semula dituding merupakan pelaku tunggal penembakan itu, telah mengaku merencanakan laku durjana tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ditemukannya kamera pengawas yang sebelumnya disebutkan hilang melengkapi pengungkapan itu: Yosua masih hidup ketika Ferdy Sambo berada di tempat kejadian perkara pada 8 Juli 2022 sore. Sebelumnya sejumlah pejabat polisi menyebutkan Ferdy baru tiba beberapa saat setelah “tembak-menembak” antara Yosua dan Brigadir Richard.

Motif pembunuhan pun pelan-pelan terbuka. Tudingan bahwa Yosua melakukan perundungan seksual kepada Putri sehingga memicu baku tembak dengan Richard tidak bisa dibuktikan. Polisi telah membatalkan laporan pelecehan seksual dan menilai laporan itu upaya menghalang-halangi pengungkapan kasus yang sebenarnya.

Tak sulit bagi polisi menemukan bahwa kejadian yang memicu peristiwa berdarah bukan di Duren Tiga, Jakarta Selatan, melainkan di Magelang, Jawa Tengah. Pengakuan rinci Putri kepada penyidik tak mengindikasikan adanya pelecehan. Pembunuhan direncanakan Ferdy Sambo diduga karena ia sakit hati terhadap hubungan Yosua dan istrinya di hari ulang tahun perkawinan mereka.

Polisi tak punya pilihan. Berada di panggung yang benderang, penyidik dan Kepala Polri berada di bawah lampu sorot. Afiliasi dan pertemanan Ferdy Sambo dengan sejumlah jenderal sejauh ini tidak membuat kasus ini berbelok ke arah yang salah.

Begitukah? Tunggu dulu.

Polisi sebenarnya masih mempunyai pekerjaan tambahan: memastikan mereka yang terlibat dalam skenario kebohongan dan perbuatan menghalangi penyidikan dihukum setimpal. Sejauh ini kepolisian sudah menahan—atau oleh istilah hukum yang eufemistik disebut “penempatan khusus”—15 polisi. Melihat luasnya lingkup kejahatan ini, sulit tak menduga ada lebih banyak orang yang terlibat.

Sejumlah polisi di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya—institusi yang menaungi tempat kejadian perkara—diyakini banyak terlibat. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran hendaknya menjelaskan perihal independensi lembaganya dalam perkara ini. Tanpa serius memeriksa mereka yang menghalang-halangi, polisi tetap akan dituduh tak genah menangani kasus ini.

Polri hendaknya menyadari mereka menanggung mandat yang tak mudah. Pemisahan Tentara Nasional Indonesia-Polri—pesan penting Reformasi 1998—muncul dari kesadaran bahwa kepolisian merupakan institusi sipil yang diberi wewenang menjaga keamanan orang banyak. Adapun TNI menjaga keamanan negara dari ancaman pihak luar. Karena itu, sejumlah pendapat yang mengusulkan penyatuan kembali TNI-Polri harus ditolak.

Sebaliknya, polisi harus berbenah. Mental polisi sebagai pelayan publik hanya bisa diperoleh jika mereka membebaskan diri dari hubungan patron-klien dengan penguasa. Untuk itu, meritokrasi dalam sistem rekrutmen dan pembinaan karier, sekadar contoh, harus diperbaiki.

Presiden Joko Widodo atau siapa pun yang kelak menggantikannya seyogianya hanya menggunakan pertimbangan meritokrasi dan kebutuhan organisasi ketika memilih Kepala Polri. Tidak boleh lagi seorang Kapolri dipilih karena kedekatan dengan, atau dianggap dapat melindungi, patron mereka.

Jika hubungan patron-klien itu dipertahankan, isu persaingan politik akan selalu muncul terutama ketika Polri menghadapi turbulensi seperti dalam penanganan kasus Ferdy Sambo. Sikap saling curiga yang didasarkan pada spekulasi “dia dari kelompok mana, membawa kepentingan apa” akan mengemuka bahkan dipercaya mempengaruhi arah pengungkapan kasus. Dengan kata lain yang terjadi adalah apa yang belakangan ini telah menjadi desas-desus: penyelidikan Ferdy Sambo berada dalam lanskap persaingan politik para jenderal.

Artikel:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus