Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Jawa, Kekuasaan, Waktu

Sejarah Jawa mengalami musnahnya “marka-marka kepastian”. Di Eropa, kekuasaan adalah “tempat yang kosong”.

20 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEKUASAAN selalu membawa kengerian tersendiri. Kadang-kadang ia disebut aura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenalan saya, Hans, seorang dari Alkmaar, sebuah kota kecil Belanda, di tahun 1998 datang ke Jakarta dan melihat sosok Sultan Agung dalam lukisan S. Sudjojono. Hans, yang membaca sejarah Jawa secara sambil lalu, mengatakan bahwa baginya seluruh adegan paseban di balairung Keraton Mataram abad ke-17 itu menakutkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya tak melihatnya demikian, tapi rasanya benar: ada aura kekuasaan yang sangat kuat di sana. 

Sultan Agung, duduk gagah dan tampan dalam usia sekitar 35 tahun, disembah merunduk semua nayaka di dalam ruang berukir merah Cina. Adegan itu pasti hanya buah imajinasi Sudjojono, tapi lukisannya sangat plastis. Saya kira cocok dengan gambaran orang banyak tentang Sultan Agung, raja Mataram itu, seorang penakluk abad ke-17 yang kadang-kadang ikut hadir di medan perang. Tentu ada sifat yang ganas dalam diri penguasa ini. Ia pernah menghukum mati seorang bupati dari Demak dan kemudian memajang jeroan tubuh si korban di tengah pasar.

Tentu ada catatan: dalam Babad Tanah Jawi, Sultan Agung tak dikisahkan sebuas penerusnya. Amangkurat I di tahun 1648 membantai 5.000 ulama dan keluarganya di alun-alun dalam waktu setengah jam. Sultan Agung lebih tergambar gigih. Dalam usaha penaklukan di Jawa Timur dan Madura, ia berulang kali, dari tahun 1620 sampai 1625, menggempur. Dan ia berhasil. Ia membangun angkatan laut Mataram untuk ekspansi selanjutnya dan menegakkan hegemoni Mataram bahkan di wilayah Pasundan.

Tentu, kegigihan itu juga kekuasaan yang represif, seperti digambarkan Serat Centhini: raja Mataram itu memburu untuk menghabisi Syekh Amongraga, yang dianggapnya menyebarkan ajaran Islam yang “sesat”. 

Hans, teman dari Alkmaar itu, tak sepenuhnya keliru: ada aura yang menakutkan dalam gambaran kekuasaan Sultan Mataram sebagaimana ditangkap Sudjojono. Mungkin hal itu tak dilihatnya dalam riwayat monarki Eropa. 

**

APA yang berbeda dalam cerita raja-raja Jawa? Dalam satu esainya yang terkenal, “The Idea of Power in Javanese Culture”, Benedict Anderson mencoba menguraikan konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa—yang menurut dia berkebalikan dengan konsep kekuasaan di Barat.

Tapi apa gerangan yang disebut “Jawa”? Tak pernah jelas. Anderson bertolak dari premis yang memposisikan “Jawa” sebagai identitas yang utuh, kompak, dengan esensi yang tetap. Padahal sebenarnya “Jawa” hanya sebuah titik simpul (point de capiton, dalam istilah Lacanian), tempat sebuah penanda bertaut dengan yang ditandai hingga identifikasi jadi jelas dan stabil. 

Sebab nama, penanda, label memang hanya mengidentifikasikan sesuatu yang selalu luput. Realitas, kata seorang filosof, ibarat “makhluk liar”. Hubungan antara penanda dan yang ditandai senantiasa bergeser. Bahasa adalah sebuah sistem yang kompleks, di mana makna terus-menerus bergerak, dipengaruhi konteks yang juga bergerak dalam waktu.

Maka kata “Jawa” tak mengacu ke sesuatu yang punya esensi yang tetap, kekal, mantap. 

 

***

DALAM “The Idea of Power in Javanese Culture”, kita dapatkan uraian, bahwa bagi orang Jawa, “kekuasaan tak kasatmata, tak tertangkap indra (intangible), misterius, energi supramanusia (divine energy) yang memberi nyawa kepada semesta. Ia muncul di tiap aspek dunia alamiah, di batu-batu, pepohonan, awan, dan api, tapi secara sempurna dalam misteri pusat kehidupan...”.

Terjemahan saya tak akurat, tapi ada kesan dalam deskripsi Benedict Anderson bahwa ia mencampuradukkan pengertian power sebagai “daya” (atau “tenaga, kekuatan”) dengan power sebagai “kekuasaan”. Berbeda dari dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia keduanya pun dibedakan.

Mungkin kita harus memasuki langsung pengalaman, tanpa melalui kamus dan theori. Dalam pengalaman Mataram, kekuasaan tak semagis seperti yang tersirat dalam deskripsi Anderson.

Dalam pengalaman sejarah di sini, kekuasaan hanya sedikit berbeda dari yang terjadi dalam, misalnya, peperangan Napoleon di Eropa: kekuasaan adalah posisi yang dominan, ketika berlangsung kompetisi orang-orang yang saling menyingkirkan. 

Jika ada yang berbeda, dalam sejarah Jawa, kekuasaan itu—yang juga berarti kekuatan—mendapatkan aikonnya dalam wujud senjata, khususnya keris dan tombak.

Dan tiap senjata pemusnah itu punya nama.

Di Demak abad ke-16, Aria Penangsang tewas oleh kerisnya sendiri, bernama Setan Kober, setelah perutnya dirobek tombak Kiai Plered, milik Sutawijaya, lawannya berperang tanding. Adipati Pragola, yang melawan kekuasaan Sultan Agung, tewas oleh Kiai Baru, tombak milik raja yang dipergunakan Lurah Kapendak. 

Senjata bernama manusia itu menunjukkan nilainya yang tak tergantikan. Juga menunjukkan keris atau tombak itu bukan logam yang pasif. Ia ada dalam ambiguitas: senjata yang “hidup” dan juga instrumen yang mati. Ia sekaligus kekuatan fisik dan kekuatan auratik. Ia kasaktèn.

Dengan kasaktèn itu senjata dikesankan tak sepenuhnya berada dalam kendali orang yang memilikinya. Pelaku, atau subyek, tak hadir penuh dalam laku. Mungkin itu yang dimaksudkan Anderson ketika ia mencatat, dalam kebudayaan Jawa, power exists, independent of its possible user. Kita juga kenal cerita tentang “pulung” atau “wahyu” yang suatu saat diperoleh seorang penguasa tapi bisa pergi meninggalkannya.

Agaknya itu tanda ketidakpastian—yang mencerminkan pengalaman traumatik kekuasaan di Jawa. Salah satu thema sejarah politik di sini adalah diskontinuitas takhta. Sejak abad ke-13, apalagi sejak punahnya hegemoni Majapahit di abad ke-15, tak ada kerajaan yang tak diputus dengan kekerasan. Riwayat Tumapel adalah kisah pembunuhan penguasa silih berganti. Setelah Islam datang, pola itu berlanjut. Tak sampai satu abad, Demak runtuh digantikan Pajang, dan Pajang digantikan Mataram. Akhirnya—setelah bertahun-tahun perang Paregreg di mana para pangeran berebut kekuasaan dengan atau tanpa bantuan VOC—Mataram dibelah jadi dua dalam Perjanjian Giyanti di tahun 1754.

Walhasil, yang dialami penghuni Pulau Jawa bukanlah hanya tiga setengah abad kolonialisme Belanda, melainkan tiga-ratus-tahun-lebih keguyahan, masa yang dalam naskah Majapahit disebut sirna ilang kertaning bumi. Untuk memakai kalimat yang suram dalam pementasan wayang kulit, bumi gonjang-ganjing.

Dengan kata lain, sejarah Jawa mengalami musnahnya “marka-marka kepastian”, la dissolution des repères de la certitude—frasa terkenal Claude Lefort ketika ia menggambarkan Eropa sejak datangnya modernitas, sejak kian jelas bahwa kekuasaan adalah “tempat yang kosong”, situs tanpa penghuni yang ditakdirkan.

Tapi, baik di Jawa maupun di Eropa, itu bukan selalu keadaan apokaliptik. Bahkan itu bisa menumbuhkan celah-celah kemungkinan yang lain. Kekuasaan, yang selalu genting, berangsur-angsur tak menunjukkan wajah yang niscaya seram dan selalu angker. Ia bisa lebih rendah hati. 

Di abad ke-18, Pakubuwana IV, raja Surakarta, menerbitkan kitab Wulangreh, sebuah ajaran untuk generasi muda yang akan memerintah.

Ada tiga alegori yang harus mereka indahkan, kata Wulangreh: perumpamaan kijang, gajah, dan ular. Ketiganya harus dihindari.

Watak kijang menyombongkan kecepatannya meloncat (kebat lumpatipun), gajah tubuhnya yang tinggi besar (angandelaken agung inggil), sedangkan ular bisanya yang ganas bila menggigit (mandine kalamun nyakot).

Petuah itu peka kepada harkat kehadiran liyan. Mungkin tak selalu dipatuhi. Tapi ia mengisyaratkan berubahnya posisi dan sikap kekuasaan “Jawa” setelah Amangkurat terusir dari keraton dan meninggal di sebuah dusun nun di pantai utara Jawa Tengah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Jakarta, 11 Oktober 2024

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus