Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) menyerang hewan ternak di sejumlah daerah di Indonesia.
Pemerintah terlambat mengantisipasi dan mencegah penularan PMK.
Wabah PMK buah kebijakan tata niaga daging dan ternak.
MENGGILANYA wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak merupakan kombinasi dua kegagalan pemerintah: regulasi bermasalah dan kelambanan bertindak mengantisipasi penyebaran wabah. Kondisi buruk tersebut bisa berdampak luas dan menimbulkan kerugian yang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wabah penyakit mulut dan kuku diketahui muncul pertama kali di Jawa Timur dan Aceh pada pertengahan April lalu. Data Kementerian Pertanian menyebutkan jumlah ternak yang terkena PMK mencapai 3.205 ekor di Jawa Timur dan 2.226 ekor di Aceh. Pemerintah menduga aphthovirus yang menjadi penyebab penyakit ini menular dari kambing dan domba selundupan atau yang diimpor secara ilegal dari negara tetangga, yaitu Malaysia dan Thailand.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cara berkelit pemerintah bahwa wabah itu menular dari hewan selundupan jelas ganjil. Apalagi sampai saat ini belum ada kabar bahwa dua negara tetangga tersebut sedang terjangkit PMK. Wajar kemudian kalau para pegiat peternakan menyebutkan wabah itu mulai merebak setelah pemerintah melonggarkan prosedur impor daging dan hewan.
Di luar pembuktian muasal virus PMK, pemerintah mesti menyadari pelonggaran prosedur impor ternak telah berbuah petaka. Prosedur impor adalah turunan dari kebijakan tata niaga, yang telah terbukti banyak memberikan mudarat.
Pemerintah melonggarkan prosedur impor ternak melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014, yang merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Regulasi teknis undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016, mengizinkan impor daging atau hewan dari zona atau kawasan tertentu yang tidak terjangkit penyakit, meski negara asal hewan tersebut belum bebas dari wabah penyakit. Sebelumnya, pemerintah mewajibkan impor ternak atau daging hanya berasal dari negara yang bebas dari penyakit.
Saat mengubah aturan tersebut, pemerintah beralasan perlu ada diversifikasi sumber pasokan ternak dan daging impor sehingga Indonesia tidak hanya bergantung pada satu negara. Selain itu, pemerintah membuka pintu masuknya daging dan hewan dari negara lain yang harganya lebih murah. Walhasil, setelah terbit regulasi itu, Perusahaan Umum Bulog dan sejumlah importir mulai mendatangkan daging sapi dari Brasil dan India, yang statusnya belum bebas dari wabah PMK.
Alasan mendatangkan daging dan hewan yang lebih murah dengan mengabaikan risiko terkena penyakit adalah kebijakan yang sembrono. Apalagi pelonggaran prosedur impor ditengarai membuka peluang bagi pemburu rente. Sebab, importir memanfaatkan peluang ini untuk menuai cuan besar dengan membuka pasar untuk negara-negara pemasok yang belum bersih dari wabah penyakit ternak.
Sistem ini terbukti menjadi celah praktik suap dan korupsi oleh para pejabat berwenang. Kita masih ingat, petinggi partai politik, pejabat negara, dan hakim Mahkamah Konstitusi masuk penjara karena menerima suap dalam urusan jual-beli kuota dan izin impor daging.
Agar kejadian buruk wabah PMK tak terulang, pemerintah harus segera mengakhiri kebijakan tata niaga daging dan ternak. Kebiasaan buruk mengatur lewat prosedur rumit itu terbukti telah membuat aktivitas bisnis menjadi tidak efisien, yang berujung timbulnya kerugian besar bagi peternak dan konsumen.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo