Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahmat Petuguran*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELAS sosial terbukti punya pengaruh terhadap sikap dan pilihan bahasa seseorang. Inilah yang membuat bahasa masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah cenderung berbeda. Sementara kelas atas ditandai dengan perilaku berbahasa elitis yang cenderung simbolis, kelas bawah ditandai dengan kecenderungan berbahasa secara vulgar. Bagaimana dengan kelas menengah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan utama dalam mengidentifikasi bahasa kelas menengah adalah menentukan dengan presisi siapakah kelas menengah itu. Upaya ini tidak mudah karena “kelas menengah” telah menjadi istilah di berbagai bidang sekaligus. Selain menjadi istilah khusus dalam bidang ekonomi, “kelas menengah” menjadi istilah khusus dalam bidang politik dan budaya.
Kelas menengah ekonomi relatif mudah diidentifikasi dengan mengukur pendapatan dan pengeluarannya. Kelas menengah politik juga relatif mudah diidentifikasi dengan melihat pandangan dan afiliasi politiknya. Kelas menengah dari sisi budaya relatif lebih sulit diidentifikasi karena variabel untuk mengidentifikasinya lebih beragam.
Dalam Bahasa dan Kekuasaan Simbolik (2013), sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebut kelas menengah dengan sebutan borjuis kecil. Istilah ini ia sodorkan untuk mengatasi kategori biner antara borjuis dan proletar ala kaum Marxian.
Ciri utama borjuis kecil, menurut dia, adalah hasrat untuk menjadikan dirinya bagian dari kelompok borjuis. Namun kehendak itu tidak dapat diwujudkan karena ia belum memiliki modal yang dipersyaratkan menjadi borjuis. Keterbatasan sumber daya inilah yang membuat borjuis kecil punya kecenderungan menjadi epigon. Mereka menjadi peniru perilaku masyarakat di atasnya.
Sikap ini menjadi pola borjuis kecil dalam berinteraksi dengan kelas lain, termasuk dalam interaksi melalui bahasa. Mereka cenderung meniru bahasa kelas atas supaya dicitrakan bagian dari kelas itu. Peniruan itu dapat dilakukan pada tataran pengucapan, diksi, dan retorika.
Pada tataran pengucapan, kelas menengah cenderung berupaya memproduksi bahasa secara lembut sebagaimana kelas atas. Suara yang lembut ditandai dengan bibir yang tidak terlalu terbuka saat berbicara sebagai perlambang kelembutan adab mereka. Bunyi vokal /a/ diucapkan lebih bulat dan bunyi hambat /k/ dan /g/ sering diubah menjadi glotal.
Kecenderungan ini tampak dalam modifikasi sapaan “Pak” menjadi “Pa” dan “Kak” menjadi “Ka”. Kecenderungan yang bermula dalam komunikasi lisan itu bahkan terbawa dalam komunikasi tulis dalam aplikasi percakapan dewasa ini.
Pada tataran diksi, bahasa kelas menengah ditandai dengan penggunaan kata yang lebih formal. Di lingkungan pengguna bahasa Inggris, William Labov (1966) menunjukkan bahwa kelas menengah cenderung berbahasa lebih formal dari kelas pekerja. Kelas menengah cenderung menggunakan bahasa yang lebih “terstandar”.
Pilihan memakai bahasa yang lebih standar juga merupakan bentuk epigon. Kelas menengah berusaha menyamakan perilaku berbahasanya dengan kelas atas yang dalam tampilan publiknya cenderung lebih formal. Mereka ogah menggunakan dialek daerah agar bisa tampil dan dicitrakan layaknya orang ibu kota.
Dalam konteks kiwari, penyisipan bahasa Inggris dalam tuturan bahasa Indonesia juga menggambarkan “etos” kelas menengah sebagai epigon. Mereka berusaha tampil keren dan terpelajar dengan menunjukkan kemampuan menggunakan bahasa internasional itu saat berbahasa.
Di tingkat retorika, kekhasan bahasa kelas menengah ditandai dengan ketidakterusterangan. Ciri ini, sekali lagi, ditiru dari kelas atas yang cenderung menggunakan ungkapan tak langsung dan nonharfiah. Di lingkaran kelas atas, ungkapan tak langsung dan nonharfiah dipelihara dan diwariskan sebagai upaya menjaga harmoni dan ikatan sosial komunitas. Keengganan berkonflik membuat mereka terbiasa menyampaikan sesuatu secara simbolik.
Dibanding tingkat fonologis dan diksi, etos simbolik inilah yang paling sulit ditiru. Itu terjadi karena kemampuan berbahasa secara simbolik melibatkan sumber daya yang tidak sedikit. Selain pengetahuan teknis tentang fitur-fitur kebahasaan, kemampuan berbahasa simbolik harus ditopang dengan pemahaman etika kelas. Pemahaman ini hanya mungkin diperoleh melalui proses pembudayaan yang panjang. Karena relatif sulit inilah kemampuan berbahasa secara simbolik kerap menjadi “ujian terakhir” bagi kelas menengah yang ingin diterima sebagai anggota kelas atas.
Meski begitu, tak berarti orang-orang yang menguasai keterampilan berbahasa demikian otomatis diterima di lingkungan kelas atas. Salah satu etos dalam pergaulan kelas atas adalah eksklusivitas. Mereka mempertahankan citra elite diri dan kelompoknya dengan menjaga kekhasan berbahasanya. Karena itulah, saat perilaku berbahasa mereka menjadi terlalu massal, mereka akan bergeser menciptakan tren baru.
Situasi itulah yang menempatkan kelas menengah dalam “pencarian tiada akhir”. Mereka menjadi kelompok yang paling aktif sekaligus (kadang) paling berisik karena terus bergerak mengikuti tren yang ada. Mereka terus berusaha membuktikan bahwa dirinya tak ubahnya kelas atas, meski upaya itu tak selalu berhasil.
*) DOSEN SOSIOLINGUISTIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo