Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Mampukah Presiden Terpilih Merombak Kebijakan Energi Jokowi?

Kebijakan energi pemerintahan Presiden Joko Widodo bertentangan dengan kebutuhan percepatan transisi energi. Apa pekerjaan rumah presiden baru nanti?

25 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden terpilih dalam Pemilu 2024 memegang peran kunci dalam mengkonkretkan aksi iklim.

  • Alih-alih mengoptimalkan penambahan bauran energi terbarukan, pemerintah malah mengembangkan solusi palsu transisi energi.

  • Ketiga pasang capres-cawapres belum menunjukkan gagasan yang kuat dalam rencana kebijakan energi mereka.

Tata Mustasya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senior Campaign Strategist Greenpeace International dan pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan bertajuk “The Global Risks Report 2024” yang dirilis World Economic Forum menunjukkan betapa mendesaknya aksi konkret dalam mengatasi krisis iklim. Dalam laporan yang merangkum hasil survei kepada berbagai pemangku kepentingan tersebut, 66 persen responden menyatakan cuaca ekstrem—yang merupakan dampak krisis iklim—sebagai risiko yang menghadirkan krisis material secara global.

Fakta dan data menunjukkan ancaman krisis iklim yang semakin nyata dan berdampak. Di Indonesia, misalnya, jumlah dan intensitas bencana hidrometeorologi terus meningkat setiap tahun. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat setidaknya ada 4.940 bencana pada 2023, meningkat dari 3.494 pada tahun sebelumnya. Lebih dari 95 persen bencana tersebut merupakan bencana hidrometeorologi berupa banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kekeringan, kebakaran, dan kebakaran hutan. Lebih dari 9 juta warga terkena dampak.

Krisis iklim tidak hanya mengancam lingkungan, tapi juga kemanusiaan dan kesejahteraan. Dalam konteks inilah, calon presiden (capres) terpilih memegang peran kunci dalam mengkonkretkan aksi iklim. Paling tidak karena dua alasan. Pertama, periode pemerintahan 2024-2029 merupakan waktu yang menentukan untuk berada di jalur yang tepat dalam mengatasi krisis iklim. Kedua, salah satu aksi iklim paling penting adalah transisi energi karena kontribusi sektor ini terhadap emisi karbon yang terus naik. Faktanya, kebijakan energi merupakan kebijakan “besar” yang memerlukan visi dan kendali yang kuat dari presiden, bukan hanya satu atau beberapa menteri.

Namun, dalam 10 tahun terakhir, Presiden Joko Widodo malah menjalankan kebijakan energi yang kontradiktif dengan kebutuhan percepatan transisi energi. Kontradiksi yang paling terlihat adalah kebijakan yang terus mendorong pembangunan PLTU batu bara baru hingga menyebabkan kelebihan pasokan listrik. Pada periode 2017-2020, misalnya, Indonesia menambah kapasitas PLTU batu bara sebesar 44 persen pada saat banyak negara di dunia menurunkan kapasitas pembangkit listrik tersebut. Di hulu, kuota produksi batu bara juga terus mencatat rekor setiap tahun. Produksi batu bara Indonesia meningkat tajam dari 462 juta ton pada 2015 menjadi 766 juta ton pada 2023 atau naik sebesar 65 persen.

Pada saat yang sama, pengembangan energi bersih dan terbarukan pada era Jokowi berjalan tertatih-tatih. Bauran energi terbarukan Indonesia baru sebesar 12-14 persen dari target 23 persen pada 2025. Bukannya mengoptimalkan waktu yang tersisa, pemerintah malah berencana menurunkan target energi terbarukan menjadi 17 persen pada 2025. Pemerintahan Jokowi juga mendorong beragam solusi palsu, seperti co-firing, carbon capture, utilization and storage, dan gasifikasi batu bara yang bermasalah, baik dalam efektivitas mengurangi emisi maupun keekonomiannya. Energi bersih yang potensinya melimpah seperti tenaga surya justru diabaikan, bahkan dihambat perkembangannya oleh pemerintah sendiri.

Merombak Kebijakan Energi Jokowi

Percepatan transisi energi dalam jangka pendek hingga 2030 ditentukan oleh keberanian dan kapasitas presiden terpilih untuk segera merombak kebijakan energi Jokowi. Di sini kita bisa mengecek prospek ketiga kandidat capres-cawapres untuk melakukan beberapa langkah wajib.

Langkah pertama adalah mengubah paradigma pembangunan yang pada era Jokowi mementingkan keuntungan ekonomi di atas lingkungan dan iklim. Dalam persoalan ini, ketiga pasangan kandidat sudah menyatakan komitmennya walau masih sangat normatif. Tidak ada gagasan perubahan paradigmatik yang kuat, misalnya dalam bentuk mengoreksi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja serta UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang berdampak pada krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Watak ekstraktif juga sangat terlihat dalam gagasan Prabowo Subianto yang berhasrat menggenjot produksi nikel untuk kepentingan penghiliran, sembari menutup mata terhadap dampak lingkungan yang masif dan penggunaan tenaga batu bara yang besar oleh smelter nikel.

Langkah kedua adalah menerjemahkan aksi iklim ke dalam kebijakan konkret. Di sini, ketiga pasangan kandidat sama-sama memiliki kelemahan terbesar. Semuanya berbicara mengenai keinginan mendorong penggunaan energi terbarukan, tapi sangat minim usulan konkret untuk melakukan disinsentif batu bara. Padahal persoalan fundamental dari lambannya transisi energi di Indonesia adalah tidak adanya ruang bagi energi bersih dan terbarukan karena kelebihan kapasitas dari energi batu bara.

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menyampaikan penerapan pajak karbon dalam program mereka, tapi belum jelas pentahapannya. Salah satu hal yang luput dari semua kandidat adalah pentingnya menerapkan pajak produksi dan ekspor batu bara. Secara praktis, Indonesia bisa menerapkan pajak ekspor batu bara sebesar US$ 50 per metrik ton untuk memberikan disinsentif bagi batu bara dan sekaligus memenuhi aspek keadilan ekonomi. Dana yang terkumpul bisa digunakan untuk mengembangkan energi terbarukan. Penerapan insentif dan disinsentif yang konsisten merupakan kunci percepatan transisi energi untuk memberikan sinyal yang jelas bagi publik dan sektor swasta dalam alokasi sumber daya.

Ketiga pasangan kandidat juga miskin gagasan konkret untuk mengatasi dilema kebijakan. Dalam jangka pendek dan masa transisi, misalnya, biaya pembangkitan untuk energi terbarukan bisa jadi masih sedikit lebih mahal dibanding energi batu bara. Pasangan kandidat tidak mampu menyampaikan bahwa, jika selisih biaya pembangkitan hanya 20 persen atau kurang, mereka akan beralih ke energi terbarukan dengan mengelola dampak untuk kelompok berpendapatan rendah. Di luar hal tersebut, harga pembangkitan energi surya telah turun sebesar 90 persen dalam satu dekade terakhir dan di banyak negara sudah lebih murah dibanding energi batu bara.

Fakta di atas menunjukkan ketidakmampuan para capres dalam mengarusutamakan energi terbarukan dan bakal terjebak dalam gimik. Ketiga capres, misalnya, tidak mempunyai strategi bagaimana mengoptimalkan partisipasi masyarakat dengan memberikan insentif penggunaan panel surya dengan target dan pentahapan yang jelas. Dengan dorongan pemerintah, penggunaan panel surya oleh rumah tangga dapat mengalami percepatan luar biasa, dan secara keekonomian akan “balik modal” dalam 5-7 tahun. Ekosistemnya, termasuk kredit perbankan, pun dapat terbentuk.

Hal terakhir adalah presiden mendatang harus bisa melepaskan diri dari kepentingan bisnis batu bara. Namun hal ini menjadi tanda tanya besar karena ketiga pasangan kandidat punya hubungan dengan para pengusaha batu bara dan bisnis ekstraktif lainnya.

Situasi tersebut membuat kita sangat ragu akan kemampuan Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo dalam membongkar kebijakan energi Jokowi sebagai bagian dari aksi iklim yang konkret dalam skala yang memadai. Lalu, apakah kita masih boleh memiliki harapan?

Ada dua hal yang bisa dilakukan dan absen pada era Presiden Joko Widodo. Pertama, tekanan dan gerakan yang masif dari kelas menengah untuk percepatan transisi energi. Misalnya untuk penggunaan panel surya atap yang sekarang dipersulit pemerintah melalui PLN. Kedua, peran pakar, akademikus, dan intelektual untuk menekan pemerintah mendatang, misalnya, guna menerapkan pajak produksi dan ekspor batu bara. Kelompok ini dalam beberapa tahun terakhir telah “melampaui batas” dengan membiarkan kebijakan energi Presiden Joko Widodo salah arah dan destruktif.

Kita tak punya banyak pilihan dan waktu karena keberhasilan transisi energi serta aksi iklim bakal menentukan masa depan lingkungan, manusia, dan kesejahteraan Indonesia.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.  

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus