Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keluarga anak korban gagal ginjal masih bersusah payah menuntut kompensasi.
Pemerintah tak kunjung membayarkan santunan yang sudah dijanjikan.
Negara seharusnya mengalokasikan anggaran untuk menyantuni korban kelalaian aparat.
SUDAHLAH jelas menjadi korban, untuk menuntut haknya, keluarga anak gagal ginjal masih harus bersusah payah menempuh jalur hukum. Pemerintah semestinya bergegas membayarkan santunan, tanpa menunggu putusan pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 25 keluarga anak korban gagal ginjal menggugat Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta sejumlah perusahaan produsen dan distributor obat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ini buntut rentetan kejadian aneh yang berawal pada pertengahan tahun lalu. Kala itu ratusan anak didiagnosis menderita gangguan ginjal akut. Pemicunya serupa: mereka meminum sirop pereda demam yang mengandung etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memang sempat melarang peredaran sejumlah obat sirop yang dicurigai mengandung EG dan DEG di atas batas aman. Tapi korban telanjur berjatuhan. Sampai Januari lalu, tercatat 204 anak meninggal dan 152 lainnya menjalani perawatan intensif.
Keracunan obat yang meluas jelas bukan akibat kecerobohan orang tua anak. Hasil investigasi Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyimpulkan BPOM lalai mengawasi bahan baku dan peredaran obat yang mengandung zat berbahaya itu. BPKN juga menyingkap fakta buruknya koordinasi antara BPOM dan Kementerian Kesehatan. Dalam rekomendasinya, BPKN meminta pemerintah membayarkan santunan atau kompensasi kepada korban.
Karena pemerintah tak kunjung menjalankan rekomendasi BPKN, keluarga korban pun mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action). Mereka menuntut kompensasi Rp 3 miliar untuk anak yang meninggal dan Rp 2 miliar untuk anak yang masih bertahan hidup.
Februari lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjanjikan santunan untuk keluarga korban. Namun, hingga kini, janji itu belum dipenuhi. Awal Maret lalu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan kompensasi masih diproses di Kementerian Sosial. Belakangan, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan kementeriannya tak memiliki anggaran untuk menyantuni korban gagal ginjal.
Saling lempar tanggung jawab itu menunjukkan kurangnya empati para pengurus negara kepada korban. Meski tak sebanding dengan nyawa anak yang meninggal, uang kompensasi setidaknya akan meringankan beban keluarga.
Anak yang bertahan dengan perawatan intensif pun sangat memerlukan santunan. Sebab, pemerintah hanya menanggung biaya pengobatan di rumah sakit lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sedangkan untuk perawatan anak di rumah dan ongkos bolak-balik ke rumah sakit, keluarga harus mengeluarkan uang yang tak sedikit.
Baca liputannya:
Pemerintah tidak boleh berlindung di balik alasan bahwa jumlah dan sumber dana kompensasi masih dikaji. Negara seharusnya mengalokasikan anggaran darurat yang bisa cair setiap waktu. Di negara maju saja pemerintah kerap kalah menghadapi gugatan class action, apalagi di Indonesia, yang aparatnya sangat sering berbuat salah atau lalai.
Kita tahu, di negeri ini, polisi begitu sering salah tangkap atau bahkan salah tembak. Dinas lingkungan kerap lalai mengawasi pembuangan limbah beracun. Pengadilan pun tak luput dari kesalahan menghukum orang. Negara tak boleh terus-menerus abai membayarkan kompensasi bagi korban kelalaian aparatnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lelet Kompensasi Korban Gagal Ginjal"