Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Indonesia, konotasi sesuatu yang sejuk, indah, dan ramah lingkungan yang melekat pada kata “hijau” sebentar lagi bisa berubah. Hal ini sejalan dengan langkah Otoritas Jasa Keuangan yang akan mengubah Taksonomi Hijau Indonesia untuk mengakomodasi sejumlah sektor industri “kotor” agar bisa tercatat dalam kategori bisnis ramah lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taksonomi Hijau Indonesia adalah klasifikasi kegiatan ekonomi berdasarkan penilaian atas aktivitas bisnis sektor usaha, apakah memenuhi standar perlindungan lingkungan dan tata kelola yang baik atau sebaliknya. Dalam daftar ini, OJK memberi label warna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Label hijau berlaku untuk sektor yang melindungi dan memperbaiki kualitas lingkungan. Kuning atau kategori pertengahan merupakan label untuk sektor yang dianggap melindungi lingkungan apabila memenuhi standar tertentu. Adapun label merah diberikan pada sektor usaha yang tidak memenuhi standar ramah lingkungan.
OJK akan mengubah isi Taksonomi Hijau, antara lain dengan mengusulkan batu bara yang awalnya berada di kategori merah dan kuning menjadi berlabel hijau. Menurut OJK, pertambangan batu bara bisa dianggap hijau karena penting bagi ekonomi Indonesia.
Label hijau akan berlaku bagi perusahaan batu bara yang menerapkan standar pertambangan tertentu dan mendukung program penghiliran pemerintah. Perubahan kriteria juga akan berlaku bagi industri sawit. Perusahaan sawit yang memenuhi standar tertentu pun bisa masuk kriteria hijau.
Kita tahu batu bara dan sawit merupakan dua sektor yang paling sering bermasalah dengan lingkungan. Batu bara merupakan penyumbang emisi karbon yang cukup besar sekaligus menjadi penyebab utama polusi di berbagai belahan dunia, termasuk di Jakarta. Adapun perkebunan sawit bermasalah karena sering memicu pembabatan hutan dan melanggar asas tata kelola lingkungan.
Melihat rekam jejak itu, sulit mencerna logika OJK memasukkan batu bara dan sawit ke kategori bisnis ramah lingkungan, sekalipun alasannya adalah mendukung pendanaan dalam proyek transisi energi dari batu bara ke sumber daya terbarukan.
Memang, di sini ada dilema karena transisi energi membutuhkan biaya. Namun siapa yang bisa menjamin pelonggaran celah pada Taksonomi Hijau tidak akan dimanfaatkan untuk mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap baru?
Dengan memasukkan bisnis batu bara ke kategori hijau, OJK kembali membuka pintu bagi bank dan lembaga keuangan lain untuk memberikan pendanaan. Hal itu berkebalikan dengan tren global saat ini, tatkala bank-bank kelas dunia berhenti memberikan kredit untuk bisnis yang tak ramah lingkungan, termasuk buat perusahaan batu bara. Bahkan sejumlah bank nasional juga mulai mengurangi kredit bagi perusahaan tambang dan perkebunan seiring dengan praktik yang berlaku secara global.
Patut diduga perubahan label ini dilakukan demi mengakomodasi kepentingan korporasi yang mulai kehilangan sumber dana atau agar bank kembali leluasa mendanai bisnis batu bara dan sawit yang menjanjikan keuntungan besar.
Baca liputannya:
- Asal-Usul Batu Bara dan Sawit Masuk Taksonomi Hijau
- Potensi Transition Washing dalam Revisi Taksonomi Hijau
Perubahan kriteria itu tak bisa dianggap sepele lantaran dampaknya bakal panjang. Indonesia bisa kehilangan kepercayaan dari negara-negara yang peka terhadap aspek lingkungan.
Jangan harap setelah ini Indonesia bisa dengan mudah mendapatkan dana dari negara dan lembaga donor untuk membiayai transisi energi. Bank dan lembaga keuangan nasional lain juga bisa kehilangan kepercayaan dari para pemegang obligasi yang menerapkan standar perlindungan lingkungan dan sosial serta tata kelola yang baik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Asal Hijau Taksonomi Hijau"