Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMILIH pemimpin dengan satu calon bukanlah hal baru dalam republik ini. Bahkan sebelum republik berdiri, pemilihan dengan calon tunggal sudah lazim terjadi. Karena namanya pemilihan, bukan penunjukan, jika calonnya hanya satu, dibuatlah sarana untuk menampung aspirasi yang berbeda. Dalam catatan di berbagai budaya, khususnya di Jawa dan Bali, sarana itu berupa tabung dari bambu yang disebut bumbung. Suara pemilih disimbolkan dengan memasukkan butir jagung ke bumbung yang tersedia. Satu bumbung memakai nama calon pemimpin, satu bumbung lain yang tanpa nama. Itulah bumbung kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di era kemajuan ini, suara pemilih sudah berupa kertas yang dicoblos. Kertas dimasukkan ke kotak suara. Justru kotak suaranya hanya satu. Pemilih mencoblos nama calon yang dipilihnya. Kalau dia tak setuju nama calon itu, dipilihlah kolom kosong tanpa nama. Nah, itu disebut kotak kosong, terinspirasi oleh bumbung kosong pada masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa calonnya cuma satu? Konon di masa lalu, peminat untuk menjadi kepala desa atau kepala adat tidak banyak. Orang mengukur kemampuannya sendiri. Kalau dirasa tidak cakap memimpin atau usia yang belum mencukupi, mereka tabu mencalonkan diri. Di perdesaan Bali, misalnya, jabatan kepala adat bisa berpuluh tahun dipegang seseorang karena tak ada calon lain. Tapi itu di masa lalu. Sekarang orang justru berlomba mencalonkan diri karena jabatan itu mendatangkan fasilitas dan rezeki.
Seiring dengan kemajuan zaman, ada calon tunggal dengan cara rekayasa. Yang biasa terjadi adalah seorang calon dianggap tidak memenuhi syarat dukungan awal. Calon yang maju sebagai kepala adat harus mendapat dukungan awal dari kelompok-kelompok masyarakat desa. Kelompok itu berdasarkan garis keturunan yang disebut soroh dan di setiap soroh ada pengurusnya. Nah, jika ada calon yang begitu berambisi untuk terpilih dan mereka takut dikalahkan calon lain, pengurus soroh calon lawan itu dibujuk untuk tidak mencalonkan pemimpin. Caranya bermacam-macam, entah diiming-imingi jabatan tertentu atau main uang. Ini hal yang biasa, tapi tentu sulit dibuktikan secara formal. Karena pembuktiannya tak mudah, semuanya berlangsung secara (seolah-olah) adil dan demokratis.
Apa bedanya dengan pemilihan kepala daerah di era judi online sekarang ini? Seperti kasus di Jakarta. Menurut survei, aspirasi masyarakat tertinggi adalah untuk Anies Baswedan, menyusul Ridwan Kamil dan lainnya. Karena itu, Ridwan awalnya ragu memilih Jakarta dan lebih suka memilih Jawa Barat, di daerah mana dia yakin menang. Belakangan Ridwan bersemangat ke Jakarta karena yakin sekali Anies bisa terganjal. Partai pendukung awal Anies terbujuk ikut bergabung ke koalisi pendukung Ridwan.
Kesalahan Anies adalah dia tidak ikut soroh atau bukan anggota partai mana pun. Dia mengandalkan kepopuleran atau yang disebutnya aspirasi masyarakat. Kalau sejak awal dia percaya aspirasi masyarakat, kenapa tidak menjadi calon gubernur dari jalur perseorangan? Seharusnya dia tahu bahwa partai politik saat ini tak ada kaitan dengan aspirasi masyarakat.
Anies percaya diri mendapat dukungan dari NasDem dan PKB tanpa bukti autentik. Lalu dia dijebak oleh PKS yang siap mendukungnya asalkan wakilnya dari PKS. Tinggal mencari tambahan suara 4 kursi. Bagaimana Anies bisa mencari tambahan suara jika partai yang diincarnya juga ingin menempatkan wakilnya? PKS sudah menguncinya dengan posisi wakil itu.
Sekarang politikus sibuk membantah: tak ada yang menjegal Anies. Yang dilakukan, kata mereka, mengajak partai yang selama ini tak mendukung Prabowo-Gibran saat pilpres untuk “bergabung bersama membangun Jakarta”. Ya, cuma di Jakarta, karena di situ ada Anies.
Ealah… itu ucapan konyol. Memangnya rakyat bodoh dan tak tahu kalau sejak dulu sudah ada politik kotak kosong? Betul, itu bagian dari taktik dan strategi demokrasi sejak zaman baheula. Tak ada aturan yang dilanggar. Cuma, partai yang mengabaikan aspirasi rakyat seharusnya mendapat hukuman pada pemilu yang akan datang. Mudah-mudahan rakyat makin cerdas dan tak mudah lupa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo