Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bandara Halim Perdanakusuma akan beroperasi secara komersial pada September 2022.
Operator baru Bandara Halim Perdanakusuma belum mengantongi izin.
Alih kelola dari Angkasa Pura II ke ATS adalah buah dari sengketa selama 12 tahun.
KISRUH alih kelola Bandar Udara (Bandara) Halim Perdanakusuma adalah potret kacaunya pengelolaan aset milik negara. Pemerintah tak bisa begitu saja menyerahkan pengelolaan bandara di kawasan timur Jakarta ini kepada pihak yang tak memiliki kompetensi untuk mengoperasikan infrastruktur strategis tersebut. Apalagi pengalihan ini adalah buah dari proses yang bermasalah dan hanya menguntungkan pihak tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandara Halim Perdanakusuma seharusnya kembali beroperasi melayani penerbangan komersial pada September mendatang. Kegiatan ini kembali dibuka setelah bandara tersebut menjalani revitalisasi sejak Januari lalu. Untuk menata ulang gedung terminal penumpang, apron, landasan pacu, dan landasan putar, pemerintah mengucurkan anggaran Rp 600 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalannya, Bandara Halim Perdanakusuma bakal dikelola oleh PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS). Perusahaan patungan Induk Koperasi Angkatan Udara, Pusat Koperasi Angkatan Udara, dan grup Whitesky ini belum mengantongi izin badan usaha bandar udara (BUBU), yang menjadi legalitas operator aktivitas penerbangan di bandara. Lantaran tak punya izin tersebut, rencana operasi komersial bandara ini mengundang tanya.
Penunjukan ATS selaku pengelola Bandara Halim Perdanakusuma tak lepas dari proses yang tidak transparan dan berbuntut sengketa hukum selama 12 tahun. Pada 2005, Induk Koperasi Angkatan Udara, selaku kepanjangan tangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) yang mengelola aset negara di bandara ini, meneken kontrak pengelolaan dengan ATS, yang saat itu masih dimiliki oleh Grup Lion Air. Padahal sejak 2003 pemerintah menunjuk PT Angkasa Pura II (Persero) sebagai operator.
Kisruh ini berujung pada gugat-menggugat di pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung pada 2010, yang akhirnya dimenangi oleh ATS pada 2014. Pada 2020, kepemilikan ATS beralih ke tangan grup Whitesky, sementara Angkasa Pura II yang memiliki izin BUBU harus hengkang dari bandara tersebut. Konsekuensinya, bakal ada kekosongan pengelolaan penerbangan di Bandara Halim Perdanakusuma jika operatornya tak memiliki izin BUBU.
Memantik kecurigaan mengapa TNI Angkatan Udara memilih bekerja sama dengan perusahaan yang tak memiliki izin penyelenggaraan operasi penerbangan. Apalagi pemerintah, melalui Angkasa Pura II, juga telah mengucurkan anggaran yang cukup besar untuk pengelolaan bandara selama bertahun-tahun berikut proyek pembenahannya.
Walhasil, pihak ketiga yang kini mengelola bandara itu seperti ketiban rezeki nomplok. Syak wasangka kian sengit karena pihak ketiga yang mengelola bandara ini adalah sosok-sosok yang dekat dengan kekuasaan. Jalan tengah berupa kerja sama operasi antara ATS dan Angkasa Pura II patut diduga menjadi upaya untuk menunggangi perusahaan negara.
Karena itu, sudah sepantasnya pemerintah meninjau ulang skema pengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma. Jika memang ingin menyerahkan pengelolaannya kepada swasta, cari saja pihak yang kompeten dengan rekam jejak yang jelas dan memiliki legalitas. Dalam proses ini, TNI Angkatan Udara selaku pengelola aset negara juga seharusnya bersikap transparan. Jangan ada kongkalikong karena pengelolaan bandara bukan bisnis biasa, melainkan pelayanan atas hak orang banyak.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo