Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGURANGAN peran Majelis Ulama Indonesia dalam proses sertifikasi halal produk boleh disebut sebagai “kentang”: kena tanggung. MUI masih menentukan terbit atau tidaknya sertifikasi halal melalui pemberian fatwa. Karena sertifikasi halal diwajibkan negara, semestinya tidak ada lembaga nonpemerintah yang memonopoli prosesnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum pemerintah mendirikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada 2017—merupakan pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang disahkan tiga tahun sebelumnya—MUI adalah lembaga yang memiliki wewenang penuh dalam proses sertifikasi halal. Organisasi ini memiliki Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) untuk memeriksa kehalalan suatu produk. Saking dominannya MUI dalam penentuan label halal, lembaga tersebut bahkan sering disebut berada di atas negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luasnya kewenangan tersebut tak jarang menimbulkan dugaan penyelewengan. Pada 2019, bekas Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, dilaporkan ke Kepolisian Resor Bogor, Jawa Barat, oleh Mahmoud Tatari, warga negara Jerman, dalam kasus dugaan penipuan pengurusan sertifikat halal di MUI. Perkara tak berlanjut ke pengadilan karena polisi menganggap laporan tersebut minim bukti. Lima tahun sebelumnya, investigasi majalah ini mengungkap suap dari lembaga pemeriksa produk halal di luar negeri kepada petinggi MUI. Uang semir itu merupakan imbalan agar MUI memberikan label halal bagi produk yang akan masuk Indonesia.
Kini, setelah BPJPH mengambil alih kewenangan MUI, pemeriksaan produk bisa dilakukan bukan hanya oleh LPPOM MUI, tapi juga lembaga pemeriksa halal lain yang terdaftar. Namun pada ujungnya hasil uji tetap harus diserahkan kepada MUI untuk ditetapkan kehalalannya melalui sidang fatwa. Setelah ada fatwa dari organisasi ulama itu, barulah BPJPH mengeluarkan sertifikat halal. BPJPH tak mungkin menerbitkan sertifikat tanpa ada fatwa halal.
Di sini, birokrasi menjadi ruwet karena ada pihak di luar negara yang perannya begitu menentukan dalam alur sertifikasi. Pemerintah sebaiknya mendistribusikan kewenangan mengeluarkan fatwa ini kepada organisasi Islam lain, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Pilihan lain, alur tersebut dihilangkan saja. Toh, pemeriksaan kehalalan produk sudah dilakukan oleh auditor halal dari lembaga pemeriksa halal. Penghapusan alur ini akan membuat biaya sertifikasi menjadi lebih murah.
Masalah lain, semua produk yang mengandung unsur hewani wajib memiliki sertifikat halal—kecuali produk dari barang yang diharamkan. Kewajiban tersebut memberatkan usaha kecil dan menengah yang, menurut pemerintah, jumlahnya 65 juta usaha. Setiap usaha pun bisa jadi memiliki banyak varian produk, yang juga perlu diproses sertifikat halalnya. Skala “bisnis” pengurusan sertifikat halal menjadi begitu besar dengan adanya kewajiban ini.
Kewajiban sertifikat halal dan proses pengurusannya diatur Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yang disahkan pada ujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat periode sekarang kemudian mengubah undang-undang itu melalui Undang-Undang Cipta Kerja, yang tak merevisi aturan-aturan penuh lemak dan membuat ekonomi berbiaya mahal itu. Kewajiban sertifikat halal untuk semua produk semestinya dihapus. Sebagai gantinya, misalnya, pengusaha diwajibkan mencantumkan label “haram” untuk produk yang tidak memenuhi kriteria halal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo