Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Indonesia, ibadah haji pun bisa jadi peluang korupsi. Tiap musim haji para politikus mengakali celah-celah regulasi untuk menggangsir uang besar dari penyelenggaraan ziarah ke Rumah Tuhan di Mekah, Arab Saudi, itu. Tahun ini, pejabat Kementerian Agama, biro perjalanan, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat melanggar undang-undang lewat permainan tambahan kuota haji khusus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya penambahan kuota ditujukan untuk memangkas antrean panjang calon haji. Lama antrean terpendek saja sembilan tahun untuk penduduk di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat; Buru, Maluku; dan Buru Selatan, Maluku Utara. Sementara itu, antrean terlama jatuh kepada calon di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Warga di sana baru bisa naik haji pada 2060.
Tahun ini, kuota haji Indonesia 221 ribu orang. Pemerintah Indonesia mengklaim mendapat tambahan kuota 20 ribu berkat lobi Presiden Joko Widodo kepada Kerajaan Arab Saudi. Dengan tambahan jatah ini, Kementerian Agama menetapkan jemaah haji reguler sebanyak 213.320 orang dan haji khusus 27.680 orang.
Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur dua jenis haji: reguler dan khusus. Pasal 64 menyatakan jumlah anggota jemaah haji khusus maksimal 8 persen dari total kuota haji per tahun. Artinya, jika memakai kuota haji dengan tambahan baru itu pun jumlah anggota jemaah haji khusus maksimal 19.280 orang.
Selain tak sesuai dengan undang-undang, keputusan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tak merujuk kesepakatan dengan Komisi bidang Agama Dewan Perwakilan Rakyat tentang kuota jemaah haji khusus akhir tahun lalu. Investigasi majalah ini menemukan utusan Kementerian Agama melobi anggota DPR agar menyetujui proporsi jemaah haji yang baru itu.
Para anggota DPR mengaku diiming-imingi uang pelicin US$ 1.000-2.000 per calon anggota jemaah haji khusus yang disetujui. Setiap anggota DPR mendapat jatah 100-500 anggota jemaah haji khusus. Dengan kata lain, sedikitnya satu anggota Komisi bidang Agama mendapat US$ 200 ribu atau sekitar Rp 3,2 miliar.
Bagi calon haji khusus, penambahan kuota ini membawa berkah. Membayar ongkos lebih mahal, mereka tak perlu menunggu puluhan tahun untuk sampai Mekah. Biaya haji reguler rata-rata Rp 56-93 juta, tergantung embarkasi. Sementara itu, biaya haji khusus Rp 176-960 juta. Dengan membayar lebih mahal, jemaah haji khusus bisa berangkat lebih cepat serta mendapat hotel lebih dekat dengan Masjid Al-Haram dan fasilitas lain yang lebih nyaman.
Pembedaan dua jenis haji dalam undang-undang ini yang menjadi biang kisruh penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun. Diskriminasi itu juga membuka celah korupsi bagi pejabat Kementerian Agama, anggota DPR, serta biro perjalanan yang berebut mendapatkan kuota terbanyak melalui persetujuan Kementerian Agama.
Biro perjalanan mengincar kuota haji khusus yang mendapatkan keistimewaan regulasi. Pasal 68 Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah membolehkan agen perjalanan haji memungut biaya tambahan sesuai dengan layanan yang mereka tawarkan. Akibatnya, meski mahal, orang kaya berlomba mendaftar ke jalur haji khusus karena antrean paling lama jalur ini maksimal enam tahun.
Diskriminasi itu membuat Kementerian Agama tergiur mengalokasikan haji plus-plus ini lebih banyak dibanding kuota yang ditetapkan undang-undang. Selain karena permintaannya membeludak, anggota DPR mudah dibelokkan persetujuannya dengan iming-iming fulus.
Demi keadilan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 harus direvisi, termasuk ketentuan soal haji khusus, sehingga hanya ada satu jenis haji. Revisi itu juga mesti memperbaiki mekanisme "subsidi" ongkos naik haji. Tahun ini pemerintah mensubsidi haji reguler sebesar 40 persen yang uangnya diambil dari nilai manfaat pengembangan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji.
Perbaikan "subsidi" akan membuat ongkos haji sesuai dengan harga berlaku sehingga memangkas antrean karena biaya menjadi mahal. Namun, dengan begitu, pemerintah dan DPR akan mengembalikan prinsip ibadah haji seperti tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Imran ayat 97, yakni berhaji hanya bagi mereka yang mampu. Lebih baik lagi jika pemerintah melanjutkannya dengan membuat aturan yang membatasi orang berhaji hanya sekali seumur hidup.
Perbaikan 15 Juli 2024 pada penjelasan kata "subsidi" untuk menyesuaikan konteks dan pengertian.