Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bioprospeksi berasal dari kata biodiversity prospecting. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, belum kita dapati hasil kata bioprospeksi. Tak heran banyak pihak belum memahaminya. Mengutip sebuah sumber, bioprospeksi adalah upaya mengambil manfaat sosial-ekonomi sebesar-besarnya dari sumber-sumber biologis baru melalui koleksi, penelitian, dan pemanfaatan sumber daya genetik dan biologi secara sistematis, yang mengarah pada sumber-sumber baru senyawa kimia, informasi genetik, organisme dan produk alamiah lain untuk tujuan ilmiah atau komersial.
Bioprospeksi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) disebut bioekonomi yang sebenarnya merupakan gelombang ekonomi lanjutan dari masa natural economy pada 1900-an dan fossil economy pada 2000-an. Berlanjut di era pembangunan berkelanjutan sejak 2012, terjadi peleburan pendekatan dan strategi politik, ekonomi, lingkungan, dan keanekaragaman hayati dengan pembangunan dan industri yang kemudian berevolusi menjadi keberlanjutan pembiayaan bagi peningkatan nilai keanekaragaman hayati dan kompensasi jasa ekosistem untuk mencapai siklus kehidupan berkesinambungan.
Dalam perspektif pembangunan global, begitu pentingnya urusan dan hajat bioekonomi ini hingga pemerintahan negara berkumpul dalam konferensi tingkat tinggi Global Bioeconomy Summit (GBS). Diprakarsai oleh Dewan Bioekonomi Pemerintah Federal Jerman pada 2015, GBS mendiskusikan peluang dan tantangan serta mengembangkan visi bioekonomi berkelanjutan di masa depan di antara para aktor utama dari pemerintah, sains-inovasi, bisnis dan masyarakat sipil.
GBS ini kemudian menghubungkan kebijakan bioekonomi dengan pembangunan berkelanjutan dan agenda iklim global. Dari situ kita bisa memahami betapa pentingnya mengenal bioprospeksi lebih jauh dan manfaat yang dapat disumbangkan bagi perekonomian nasional dan global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bioprospeksi dari masa ke masa
Sejarah bioprospeksi paling monumental di Indonesia diawali terbitnya buku Herbariaum Amboinense karya botanis berkebangsaan Jerman G.E. Rumphius yang terbit 1743, memuat potensi rempah-rempah Maluku. Buku itu diterbitkan ulang pada 2003 dalam jurnal ethnopharmacology berjudul Bioprospecting Rumphius Ambonese Herbal, Volume 1. Sejarah kemudian mencatat kedatangan bangsa Eropa bersama kapal dagangnya berburu dan menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Dalam perkembangannya, bioprospeksi kemudian dibicarakan secara global karena memiliki nilai pengetahuan strategis untuk pengembangannya dalam ekonomi pasar. Dalam konteks bioprospeksi, ada hubungan erat antara kepemilikan materi genetik, pengetahuan pemanfaatan dan teknologi pengembangannya serta mekanisme pembagian manfaat. Materi genetik yang memiliki potensi ekonomi tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 yang merupakan ratifikasi dari Convention on Biological Diversity. Sementara perlindungan terhadap keamanan hayati produk rekayasa genetik telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang ratifikasi Protokol Nagoya diteken pemerintah untuk perlindungan dan peningkatan kapasitas dari custodian atau masyarakat ‘pemilik’ pengetahuan dan sumberdaya genetik, untuk tujuan membangun hubungan yang lebih setara antara masyarakat/custodian dengan industri dan akademisi/peneliti.
Definisi bioprospeksi mengutip kebijakan P.02/MenLHK/Setjen/Kum.1/1201 adalah kegiatan eskplorasi, ekstraksi, dan penapisan sumberdayaa alam hayati untuk pemanfaatankan secara komersil bailk dari sumberdaya genetik, spesies dan atau biokimian beserta turunannya. Sementara definisi teknis dari Pusat Inovasi LIPI, 2004 (sekarang BRIN) adalah penelusuran sistematik, klasifikasi, dan investigasi untuk tujuan komersial dari sumber senyawa kimia baru, gen, protein, mikroorganisme, dan produk lain dengan nilai ekonomi aktual dan potensial yang ditemukan dalam keanekaragaman hayati.
Keekonomian sumber daya genetik dalam bioprospeksi sangat menjanjikan. Mengutip begawan bioprospeksi Indonesia, Prof. Endang Sukara, tumbuhan rotan jernang besar (Calamus draco) di belantara hutan Sumatera yang digunakan suku Anak Dalam dan Talang Mamak sebagai pewarna alami ternyata mengandung senyawa dracorhodin. Penelitian di Cina pada 2017 mengungkap senyawa dracodhodin dapat mengatur proliferasi fibroblast yang berkaitan proses penyembuhan luka, dihargai senilai USD 12,9 per milligram atau lebih dari Rp 100 miliar per kilogram (Kehati, 2020).
Industri obat herbal dan jamu sudah lebih dulu memanfaatkan peluang ini dan mendapat pasar luas. PT Sido Muncul salah satu perusahaan jamu membukukan keuntungan sebesar Rp 2,6 triliun pada 2022, dengan peluang perluasan pasar ke negara-negara Afrika Timur (Kontan, 2023).
Selanjutnya:
Menilik Bioprospeksi dalam IBSAP pasca 2020 dan RPJPN 2025-2045
Menilik Bioprospeksi dalam IBSAP pasca 2020 dan RPJPN 2025-2045
Keseriusan pemerintah mengembangkan bioekonomi terlihat dalam diskusi para pihak yang diadakan Kementerian PPN/Bappenas untuk penyusunan dokumen Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP) yang baru, Selasa, 30 Mei 2023. Dalam sambutannya, Dr. Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas berharap keanekaragaman hayati dapat bertransformasi dari bioresources menuju bioeconomy. Melalui bioprospeksi, eksplorasi menciptakan sumber biologi baru untuk dikembangkan manfaat sosial dan ekonomi, beralih dari pemanfaatan sumberdaya hayati ekstraktif, mengimpor bahan mentah dan bergantung pada bahan impor.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2018 telah melakukan inventarisasi bioprospeksi tanaman obat di ekoregion Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera, dan Kalimantan. Direktur KSDAE- KLHK, Dr. Indra Exploitasia menjelaskan, pihaknya telah menginventarisasi flora penting, di antaranya jamur Morel (Morchella crassipess) di Taman Nasional Gunung Rinjani, yang merupakan jamur termahal bernilai Rp 2-5 juta sebelum diolah menjadi bahan pangan dan obat. Jenis cemara Taxus sumatranas di Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan senyawa obat anti-kanker bernilai ekonomi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menekankan pengembangan bioekonomi salah satunya meletakkan kerangka kebijakan ekonomi biru, yang saat ini belum digarap secara luas, khususnya dipersiapkan untuk mengantisipasi pertumbuhan populasi dunia 2050, di mana FAO memprediksi kebutuhan protein meningkat hingga 70 persen. Di sisi lain potensi ekonomi laut Indonesia siap dikembangkan di masa depan antara lain hasil perikanan 12,01 juta ton per tahun (setara Rp 221 trilun per tahun), luas mangrove 3,36 juta hektare (setara Rp 1.000 triliun per tahun), luas terumbu karang 0,29 juta hektare (setara Rp 0,29 triliun per tahun), dan luas padang lamun 1,8 juta hektare (setara Rp 525 triliun), dan potensi 17 persen karbon biru global (KKP, 2023).
Lebih lanjut, Bappenas menyerukan, pemerintah perlu segera menyiapkan pengembangan bioteknologi dan potensi pemanfaatan sumberdaya hayati melalui Digital Sequence Information (DSI) yang merupakan data DNA (deoxyribonucleic acid) dan RNA (ribonucleic acid) keanekaragaman hayati yang disimpan secara digital dan menjadi satu solusi penggalangan sumber daya untuk mendukung konservasi dan pamanfaatan berkelanjutan. Alokasi pendanaan keanekaragaman hayati pada tahun anggaran 2020-2022 cenderung stagnan di bawah 1 persen dari total belanja kementerian/lembaga di APBN (Bappenas, 2023), memerlukan dukungan pendanaan memadai dari berbagai sumber untuk memperkuat pengembangan bioprospeksi dalam perekonomian nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam narasi RPJMN 2025-2045 (draf Mei 2023) pengembangan bioprospeksi tercakup dalam misi transformasi ekonomi yaitu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi, produktivitas ekonomi, dan penerapan ekonomi hijau yang diikuti transformasi tata kelola, melalui regulasi yang adaptif, taat asas, berintegritas, tangkas, dan kolaboratif untuk mendorong bioekonomi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru sesuai visi Indonesia Emas 2045.
Lebih lanjut disebutkan, modal dasarnya menuju visi Indonesia emas antara lain: jumlah penduduk besar dan tenaga kerja produktif, keberagaman budaya, sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati dan kekayaan maritim. Arah tujuan transformasi ekonomi diantaranya peningkatan anggaran IPTEKIN dan menuju komersialisasi oleh industri serta hilirisasi komoditas unggulan hingga produk akhir dan industri padat karya terampil, padat teknologi dan inovasi serta berorientasi ekspor, serta menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru: ekonomi biru, bioekonomi, dan ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual.
Selanjutnya:
Penguatan Tata Kelola Bioprospeksi
Penguatan Tata Kelola Bioprospeksi
Penguatan tata kelola diperlukan agar bioprospeksi Indonesia tumbuh berkembang dalam perekonomian nasional dan mampu bersaing secara global. Kajian penyusunan peta jalan bioprospeksi Indonesia telah dilakukan intensif sejak 2018 oleh jejaring kerja multipihak, namun hingga kini, belum ada upaya sistematis pengembangan bioprospeksi untuk pertumbuhan ekonomi secara efektif. Dr. Angga Dwiartama, peneliti dari Sekolah Tinggi Ilmu Hayati Institut Teknologi Bandung, mengusulkan tiga aspek perbaikan tata kelola.
Pertama, mengidentifikasi setiap peluang, tantangan dan aktor penting di ranah penelitian dan pengembangan berbasis keanekaragaman hayati yang melibatkan lembaga penelitian, perguruan tinggi domestik maupun internasional dan sektor industri penghasil produk inovasi berikut skema kerja sama dan perlindungan kekayaan intelektual. Pada ranah perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati yang dilakukan masyarakat sebagai custodian memerlukan dukungan dokumentasi praktik pemanfaatan dan pengelolaannya disertai penguatan kapasitas masyarakat memperoleh akses dan manfaat yang setara. Sementara di ranah penerapan bioprospeksi di sektor industri/bisnis, memerlukan iklim investasi hijau yang kuat, skema pembagian manfaat yang adil, serta penguatan infrastruktur industri pendukung. Ranah pengawalan kekayaan intelektual komunal memerlukan peran pemerintah melalui penguatan kelembagaan masyarakat lokal/adat secara transparan dan inklusif.
Kedua, memperkuat sinergi peran antarkementerian dan lembaga (K/L) dengan menetapkan leading sector untuk mengelola kompleksitas bioprospeksi agar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pelembagaan tata hubungan kerja K/L sesuai tupoksinya, Bappenas memimpin perencanaan pengelolaan sumberdaya genetik dan bioprospeksi, sementara izin penelitian diampu BRIN sebagai leading sector didukung kementerian teknis relevan lainnya. Pengelolaan balai kliring keanekaragaman hayati dan kearifan lokal oleh KLHK, Paten dan pembagian manfaat oleh Kemenkum HAM. Kementerian Perindustrian sebagai leading sector pengembangan bisnis bioprospeksi. Kementerian Pertanian menjamin perlindungan varitas lokal pertanian, dan Kementerian Luar Negeri sebagai lead dalam negosiasi internasional.
Ketiga, menentukan prioritas arah riset bioprospeksi secara strategis dapat diterapkan sebagai penghela implementasi bioprospeksi lebih luas, salah satunya dengan melengkapi dokumen IBSAP pasca 2020 dengan peta jalan bioprospeksi menjadi keniscayaan untuk memberi pedoman lebih strategis pengembangan bioprospeksi dalam perekonomian nasional menuju Indonesia Emas 2045.