Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan PLTSa di sejumlah daerah tersendat.
Kehadiran PLTSa tidak akan mengatasi problem sampah rumah tangga.
Butuh perubahan perilaku dan pola pikir agar pengelolaan sampah lebih berkelanjutan.
LANGKAH pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) bukan solusi untuk mengatasi problem akut pengelolaan limbah rumah tangga. Alih-alih mengurangi tumpukan sampah sebelum diangkut menuju tempat pemrosesan akhir, proses pembakaran di PLTSa justru meracuni udara dan memicu masalah kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan proyek pembangkit listrik tenaga sampah, pemerintah mendorong pembangunan PLTSa di Jakarta dan sebelas kota lain. Empat tahun setelah Presiden Joko Widodo meneken peraturan itu, sejumlah proyek justru berjalan bagai siput.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pangkal soalnya adalah biaya layanan pengolahan sampah atau tipping fee yang mesti pemerintah daerah setor kepada investor maksimal Rp 500 ribu per ton. Pemerintah daerah tetap harus membayar biaya ini kendati realisasi pengiriman sampah kurang dari kesepakatan awal. Wajar bila ada pemerintah daerah yang berpikir ulang meski pemenang tender sudah ditetapkan.
Yang juga menjadi ganjalan, Perusahaan Listrik Negara mesti membeli listrik dari PLTSa dengan skema feed-in tariff selama 25 tahun. Harganya US$ 13,35 sen per kilowatt-jam (kWh) untuk PLTSa berkapasitas maksimal 20 megawatt dan US$ 14,54 sen untuk pembangkit dengan kapasitas lebih dari 20 MW. Khusus di Jakarta, PLN membayar US$ 11,8 sen per kWh.
Skema itu jelas merugikan PLN. Kontrak jual-beli listrik dengan model bisnis take or pay merupakan skema usang yang sudah selayaknya ditinggalkan. Memaksakan proyek ini terus berjalan sama dengan membiarkan PLN menjadi korban rente yang tak berkesudahan.
Proyek PLTSa ini salah kaprah sejak awal perencanaan. Pemerintah menggadang-gadang pembangunan PLTSa dapat menyelesaikan problem pengelolaan sampah di sejumlah kota yang menjadi penyumbang sampah terbesar di Indonesia. Kenyataannya, membakar sampah menjadi listrik hanya menyelesaikan persoalan di hilir. Tapi tidak mengatasi masalah di hulu, yakni meminimalkan sampah rumah tangga.
Padahal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memproyeksikan timbunan sampah rumah tangga mencapai 70,8 juta ton pada 2025. Angka ini melonjak dua kali lipat pada 2050. Dengan konsep reduce, reuse, recycle (3R), rumah tangga yang berada di puncak penghasil sampah semestinya berperan paling besar dalam pengelolaan sampah. Masyarakat harus lebih aktif mengurangi sampah dan mendaur ulang menjadi produk bermanfaat.
Pengelolaan dengan model 3R membutuhkan perubahan pola pikir dan perilaku. Sebagai langkah awal, kita bisa meniru apa yang terjadi di Jepang. Di sana sampah merupakan milik individu, bukan barang publik. Setiap individu bertanggung jawab atas seluruh sampah yang mereka produksi.
Keberhasilan mengelola sampah di hulu akan menghilangkan eksternalitas negatif dari setiap sampah yang dihasilkan. Bila tidak dikelola dengan benar, sampah akan merugikan banyak orang serta menyedot biaya ekonomi yang sangat mahal. Eksternalitas ini akan berlipat ganda bila teknologi PLTSa masih berbasis termal. Pembakaran plastik untuk listrik akan menghasilkan senyawa berbahaya, seperti dioksin, yang dapat mengganggu kesehatan manusia.
Ketimbang menawarkan konsep waste to energy seperti dalam proyek PLTSa, pemerintah seharusnya mendorong pengelolaan sampah sejak dari rumah tangga. Mengubah perilaku memang bukan perkara mudah. Tapi hanya dengan cara itu pengelolaan sampah akan lebih berkelanjutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo