Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Orang Yunani menyebut pandemi sebagai perang saudara.
Dalam perang itu, demokrasi pelan-pelan berubah jadi “Negara Keamanan”, dan berlakulah “paradigma berdasar kesehatan”, atau “biosekuriti”.
Dalam demokrasi borjuis, tiap warga punya “hak untuk sehat”, yang kini berubah menjadi “kewajiban berdasarkan hukum untuk sehat—satu kewajiban yang harus dipenuhi berapa pun ongkosnya”.
SYAHDAN, di sebuah senja di akhir Juli 1969, ratusan ekor monyet mati di himpunan karang laut yang luas di barat daya Hawaii. Militer Amerika Serikat membunuh mereka dengan “Utah”, partikel panas yang dengan ledakan bom disebarkan di wilayah Lautan Pasifik itu. Dan para saintis militer puas dengan percobaan senjata biologis baru itu—sebuah senjata rahasia yang bisa bertebar dan menyusup, praktis tanpa kasatmata, ke celah paling kecil tubuh. Dalam autopsi, jasad tak menunjukkan kerusakan, tapi darah hangus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kematian massal itu mirip wabah yang tak dikenal....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan itu fiktif. Meskipun novel The Cobra Event oleh Richard Preston (terbit pada 1998) menggambarkannya dengan mencekam.
Yang bukan fiktif: Presiden Clinton membaca novel itu. Tak lama kemudian, Richard Preston diundang ke sebuah konferensi dengan para pakar membahas “bioterorisme”.
Sejak itu, teror, perang, dan wabah berkelindan dalam politik—setidaknya menurut Patrick Zylberman, guru besar sejarah kesehatan masyarakat di École des Hautes Études en Santé Publique (EHESP) di Paris. Di tahun 2013, bukunya, Tempêtes microbiennes (Badai Mikroba), terbit. Di sana ia mengingatkan bahwa istilah sécurité sanitaire, “keamanan di bidang kesehatan”, sécurité humaine, “keamanan hidup manusia” atau biosécurité, menunjukkan anggapan bahwa dalam menghadapi ancaman baru, otoritas pengamanan tak lagi sepenuhnya berada dalam batas nasional, dalam kekuasaan “negara-bangsa”. Tapi ada paradoks di sini: peran “negara” tak melemah. Malah “negara” diberi hak campur tangan dalam memantau, mencegah, dan menyelamatkan.
Ini mungkin efektif, tapi tak sepenuhnya dianggap sesuatu yang benar. Hari ini Grigorio Agamben, filosof Italia yang terkemuka itu, memunggah satu gugatan keras dalam A che punto siamo? L'epidemia come politica (terbit pada 2020) yang saya baca terjemahan Inggrisnya.
Asal kata Yunani “epidemi”, kata Agamben, berarti “perang saudara”, polemos epidemos: perang dengan musuh yang hidup di antara bahkan di dalam diri sendiri. Dalam perang itu, demokrasi pelan-pelan berubah jadi “Negara Keamanan”, dan berlakulah “paradigma berdasar kesehatan”, atau “biosekuriti”. Dalam demokrasi borjuis, kata Agamben, tiap warga punya “hak untuk sehat”. Kini berubah. Yang berlaku “kewajiban berdasarkan hukum untuk sehat—satu kewajiban yang harus dipenuhi berapa pun ongkosnya”.
Agamben, termasyhur dengan kecemasannya akan stato d'eccezione, kekuasaan negara yang mengecualikan diri dari kepatuhan hukum, menyebut telaah Patrick Zylberman itu; ia melihat kemungkinan tegaknya rezim otoriter dari pandemi ini—dengan masker, jaga jarak, cuci tangan, vaksinasi, karantina.
Ia memperingatkan bahaya hilangnya kehidupan politik. Pemerintah menyebut ketentuan “jaga jarak” sebagai “jaga jarak sosial”, bukan “jarak fisik atau personal” sebagaimana mestinya dalam prosedur medis. Yang diperkenalkan “sebuah paradigma baru” dalam mengorganisasi masyarakat—dan itu, kata Agamben, “hakikatnya sebuah struktur politik”.
Apa arti sebuah masyarakat yang didasarkan pada [jaga] jarak?…Hubungan macam apakah yang dapat dibangun antara orang-orang yang harus berjauhan satu meter, dengan wajah ditutupi masker?…Tiap kumpul-kumpul, ‘gathering'—sebuah istilah yang menarik untuk menyebut pertemuan antara sesama manusia—akan tetap dilarang baik dengan alasan politik maupun kebersamaan....
Membaca Agamben—dengan ungkapan dan teori sosialnya yang cenderung hiperbolik—saya melihat, di tengah wabah, negara adalah bagian dari kerisauan. Terutama ini di bagian dunia di mana kata “negara” sudah dikenal berabad-abad sebagai satu kehadiran yang koheren dan berkuasa penuh: di Italia, di mana Machiavelli di abad ke-16 menganggap negara sebagai organisasi yang paling ulung dalam masyarakat manusia dan yang berdaulat berada di luar moralitas; Prancis, yang di abad ke-17 rajanya bisa mengklaim, “Negara, itulah diriku”.
Di Indonesia? Berpuluh tahun, kita mengalami “negara” (atau yang semacam itu) sebagai sesuatu yang mungkin dahsyat, tapi tak utuh, tak permanen. Kita agaknya lebih menerimanya sebagai “satu” yang tak langgeng, juga dalam wibawanya.
Di tahun 1915 terbit buku Buku Pest di Tanah Djawa dan Daja Oepaja Akan Menolak Dia, yang ditulis Kd. Ardiwinata, menceritakan bagaimana negara Hindia Belanda—buat mencegah penyebaran tikus-tikus pembawa baksil—memaksa rumah-rumah rakyat dirombak dan penduduk diisolasi dalam barak-barak bambu. Perlawanan terjadi, dan negara pun ditolak, meskipun sampar surut dan kesehatan masyarakat pulih.
Di awal abad ke-21 ini tampaknya tak demikian. Sejarah kita—dan sejarah bangsa-bangsa lain—tak membuat Agamben benar. Di balik masker dan jaga jarak, masih ada “wajah, pertemanan, cinta” yang belum punah oleh yang disebutnya sebagai “keamanan kesehatan yang abstrak dan mungkin sepenuhnya fiktif”.
Hari-hari ini kita belum melihat pandemi sebagai perang saudara—apalagi perang biologis seperti dalam novel Cobra Event. Kita masih bisa saling menyapa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo