Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kata kok sudah masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Pertama (1988) sebagai padanan shuttlecock.
Kata kok dapat ditemukan juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Badudu-Zain (1994).
Komentator bulu tangkis di televisi lebih suka menggunakan kata shuttlecock daripada kata kok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK akhir September hingga pertengahan Desember 2021, penggemar bulu tangkis di Indonesia seperti dimanjakan. Sekian banyak pertandingan bulu tangkis tingkat dunia dapat dinikmati di saluran televisi nasional. Ada (1) Sudirman Cup di Vantaa, Finlandia, 26 September-3 Oktober 2021; (2) turnamen Thomas Cup dan Uber Cup di Arhus, Denmark, 9-17 Oktober 2021; (3) Denmark Open di Odense, Denmark, 19-24 Oktober 2021; (4) French Open di Paris, 27-31 Oktober 2021; (5) Hylo German Open di Saarbrucken, Jerman, 2-7 November 2021; (6) Indonesia Masters di Bali, 16-21 November 2021; (7) Indonesia Open di Bali, 23-28 November 2021; (8) BWF World Tour Final di Bali, 1-5 Desember 2021; dan (9) Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis di Huelva, Spanyol, 12-19 Desember 2021.
Penggemar bulu tangkis di Tanah Air betul-betul “kenyang” menyaksikan pertandingan meskipun pemain dan tim bulu tangkis Indonesia tidak selalu menjadi juara/pemenang dalam perhelatan bulu tangkis itu. Indonesia, untungnya, masih bisa merebut Thomas Cup di Arhus, Denmark, 17 Oktober 2021.
Namun bukan minimnya prestasi pemain Indonesia yang akan dibahas di sini. Yang menjadi fokus kita ialah istilah yang dipakai komentator pertandingan bulu tangkis itu di televisi. Dalam setiap tayangan televisi nasional, kata yang digunakan untuk “bola” yang dipukul ke sana-kemari selalu disebut shuttlecock, yang dilafalkan satelkok atau syatelkok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarang, bahkan tidak ada, komentator bulu tangkis dalam sembilan perhelatan bulu tangkis tersebut yang menggunakan kata kok untuk shuttlecock. Selalu mereka sebutkan “Shuttlecock menyangkut di net” atau “Shuttlecock jatuh di lapangan sendiri”.
Kata kok sebetulnya sudah masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Pertama (1988, halaman 449) sebagai padanan shuttlecock. Di sana dicantumkan kok berarti “bola dalam permainan bulu tangkis, terbuat dari gabus berbentuk setengah bulatan yang dilapisi kulit tipis, pada bagian yang rata diberi bulu-bulu unggas yang dipasang berdiri melingkar sepanjang pinggirnya”. Kata kok kita temukan juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) susunan Badudu-Zain (1994, halaman 705) dengan makna “bola dalam permainan bulu tangkis yang terbuat dari gabus setengah bulatan yang pada tepinya ditancapkan melingkar bulu itik atau angsa”.
Entah kenapa kata kok kelihatannya kurang beruntung. Komentator bulu tangkis di televisi lebih suka menggunakan shuttlecock.
Jika kita intip Kamus Inggris-Indonesia susunan John M. Echols & Hassan Shadily (1983, halaman 525), di situ shuttlecock diberi makna “bola bulu (tangkis), kock”. Nah, seperti kata kok (versi KBBI dan KUBI) , kata kock (versi Echols & Shadily) juga jarang, bahkan tidak pernah, digunakan orang.
Kita tentu belum lupa, sekian tahun lalu, Pusat Bahasa pernah memadankan kata sangkil dengan efisien serta kata mangkus dengan efektif. Namun kata sangkil dan mangkus tidak laku di pasaran. Orang tetap saja memakai “tidak efisien” (alih-alih “tidak sangkil”) atau “tidak efektif” (alih-alih “tidak mangkus”).
Apakah kata kok kurang keren? Apakah kata kok kurang bergengsi dibandingkan dengan kata Inggris shuttlecock?
Ada kemungkinan para komentator bulu tangkis di televisi kita belum tahu bahwa shuttlecock sudah diindonesiakan menjadi kok dan sudah masuk KBBI Edisi Pertama (1988) hingga edisi terbaru/Edisi Kelima (2016). Boleh jadi redaktur olahraga stasiun televisi kita pun banyak yang tak tahu bahwa shuttlecock sudah diindonesiakan menjadi kok. Dalam hal ini, tak ada salahnya bila Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyarankan kepada para redaktur itu agar menggunakan kata kok. Bila perlu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pun memberi tahu Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) bahwa shuttlecock sudah diindonesiakan menjadi kok.
Kalau semua usaha itu gagal dan komentator televisi serta PBSI tetap ngotot memakai shuttlecock, masih ada jalan tengah. Kita bisa mengganti shuttlecock menjadi satelkok atau syatelkok. Lucu? Mula-mula terasa lucu atau aneh, tapi lama-lama kita akan terbiasa. Bandingkanlah tempo hari kata sophisticated yang diindonesiakan menjadi canggih. Mula-mula banyak yang menolak, tapi sekarang kata canggih sudah berterima.
Kata satelkok atau syatelkok masih mirip dengan kata aslinya (shuttlecock) dan masih ada kok-nya seperti yang disarankan KBBI dan KUBI.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo