Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPILIHNYA Yasardin menjadi Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) periode 2022-2025 bisa menjadi kesempatan buat memperbaiki peradilan di Tanah Air. Berbeda dengan pendahulunya yang kebanyakan berasal dari kamar pidana atau perdata, Yasardin berlatar belakang hakim agung kamar agama. Pergantian kepemimpinan ini menjadi momentum para pengadil di berbagai lembaga peradilan untuk berbenah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yasardin terpilih lewat musyawarah yang digelar di Bandung pada 15-17 November lalu itu dengan 57 suara. Ia hanya unggul 4 suara dari Yulius, hakim agung dari kamar pengadilan tata usaha negara, dan 16 suara dari Suharto, hakim agung dari kamar pidana. Pemilihan yang berlangsung ketat ini diduga dilatari keinginan sekelompok pengadil untuk bersih-bersih lembaga dan pegawai peradilan di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Agung diguncang skandal suap hakim agung kamar perdata, Sudrajad Dimyati, pada September lalu. Ia diduga menerima besel senilai Rp 800 juta setelah memutus kasasi perkara Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menerungku Dimyati bersama lima pegawai Mahkamah Agung lain. Pada Kamis, 10 November lalu, atau lima hari sebelum musyawarah nasional Ikahi digelar, KPK menetapkan hakim agung Gazalba Saleh sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Yasardin belum memiliki catatan kelam selama menjadi hakim, tapi prestasinya juga tak terlalu menonjol. Dalam situasi ini, ia perlu berani membuat terobosan untuk membenahi Ikahi yang kerap mendapat sorotan negatif. Pada 2017, organisasi ini menolak peralihan pengawasan dan pemilihan hakim dari Mahkamah Agung ke Komisi Yudisial. Hingga kini, pembahasan Rancangan Undang-Undang Kehakiman yang mengatur ihwal itu masih terkatung-katung.
Penolakan ini membuktikan Ikahi masih resistan terhadap pengawasan oleh pihak luar. Padahal pengawasan ini dibutuhkan agar hakim bersikap lebih profesional. Alih-alih membina anggotanya yang melanggar kode etik, Ikahi kerap membela hakim bermasalah. Pada 2013, Ikahi menolak pemecatan Daming Sanusi, yang mengatakan “korban turut menikmati pemerkosaan” ketika mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal pernyataan Daming itu merupakan contoh buruk pandangan hakim dalam kasus kekerasan seksual.
Sudah saatnya Ikahi membuka diri. Sebagai satu-satunya organisasi profesi di lingkup pengadilan, Ikahi membawahkan sekitar 8.000 hakim. Selain menginduk kepada Mahkamah Agung, Ikahi mesti menggandeng Komisi Yudisial untuk mengawasi dan membina hakim. Selama ini mereka memposisikan Komisi Yudisial sebagai lembaga eksternal yang mencampuri urusan rumah tangga hakim.
Merujuk pada perannya, Ikahi menjadi organisasi yang sangat berbeda dengan organisasi profesi lain. Mereka turut memberi rekomendasi mutasi dan promosi para pengadil. Organisasi ini boleh disebut ikut menentukan kualitas hakim-hakim di Indonesia. Itu sebabnya organisasi yang berdiri pada 1951 ini mesti berfokus pada peningkatan kualitas dan integritas hakim. Pemimpin baru Ikahi memiliki kesempatan untuk memperbaiki kualitas pengadilan di Indonesia yang tercoreng berbagai skandal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo