Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pernyataan Presiden Joko Widodo melalui akun Twitter resminya menunjukkan Indonesia tidak memiliki sikap dalam konflik Rusia-Ukraina.
Semestinya Indonesia mengecam invasi Rusia atas Ukraina karena kita adalah negara yang anti-penjajahan.
Ketidaktegasan sikap juga akan menciptakan memori kelembagaan dalam diplomasi.
PRESIDEN Joko Widodo menunjukkan kegamangan ketika mengomentari perang Rusia-Ukraina melalui Twitter pada 24 Februari lalu. Jokowi hanya menyerukan agar perang dihentikan karena menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia. Patut disayangkan, Jokowi sama sekali tidak menyebut Rusia yang melakukan agresi militer terhadap Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan tidak menyebut nama negara, Jokowi terkesan ingin bersikap netral alias tidak memihak salah satu negara yang bertikai. Itu sikap yang keliru. Ketika negara raksasa—dengan pemerintahan otoriter—menyerang negara kecil yang berdaulat dan relatif demokratis, Indonesia seharusnya tidak bersikap netral. Sebab, dalam situasi itu, bersikap netral sama saja dengan mendukung “si kuat” berbuat zalim dan membiarkan “si lemah” menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boleh jadi, demi menjaga hubungan ekonomi Rusia-Indonesia, yang nilai perdagangannya mencapai US$ 2,74 miliar pada tahun lalu, Jokowi berhati-hati dan tidak mengecam Rusia. Lagi-lagi, itu sikap yang salah. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang anti-penjajahan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam urusan anti-penjajahan, konstitusi tak menimbang untung-rugi secara ekonomi.
Indonesia sudah sepantasnya mengutuk keras agresi militer Rusia. Tidak ada perang jika militer Rusia tidak menyerang Ukraina. Tindakan Rusia jelas-jelas melanggar piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum internasional. Apalagi invasi Rusia ke wilayah Ukraina pun mengancam perdamaian regional Eropa dan stabilitas global.
Ancaman Presiden Rusia Vladimir Putin menggunakan senjata nuklir juga membahayakan keselamatan umat manusia. Tanpa senjata nuklir pun, berdasarkan catatan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), serbuan Rusia dalam sepekan telah menewaskan 227 warga sipil Ukraina—termasuk 15 anak-anak. Mayoritas korban tewas disebabkan oleh serangan udara Rusia.
Sebagai negara yang pernah dijajah, sudah sepantasnya Indonesia berpihak kepada Ukraina. Apalagi, di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, Ukraina menjadi negara pertama yang mendukung Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 21 Januari 1946, utusan Republik Sosialis Soviet Ukraina di PBB, Dmitry Manuilsky, menyatakan keadaan di Indonesia setelah agresi militer Belanda membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. Karena itu, dia mendesak Dewan Keamanan PBB melakukan penyelidikan.
Meski Presiden Jokowi sempat gamang, untung saja Indonesia mengambil keputusan tepat ketika akhirnya mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menekan Rusia untuk menghentikan serangan ke Ukraina. Indonesia mendukung resolusi tersebut bersama 140 negara lain. Bayangkan bila Indonesia menolak resolusi itu seperti Belarus, Eritrea, Korea Utara, Suriah, dan Rusia. Begitu pun bila kita memilih tak bersikap seperti 35 negara yang abstain. Indonesia pasti akan menjadi negara yang dikucilkan dari pergaulan global.
Maka Indonesia harus selalu tegas menentang agresi militer atas negara berdaulat, gangguan atas perdamaian regional dan global, serta ancaman bagi keselamatan umat manusia. Tidak boleh ada keraguan, apalagi tawar-menawar, untuk hal yang sangat prinsip seperti itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo