Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Beban utang BUMN konstruksi adalah buah dari proyek mercusuar pemerintah.
Rasio utang BUMN konstruksi makin tak sehat dan terancam gagal bayar.
Penyertaan modal negara cenderung tersedot untuk membayar utang.
GUNUNG utang badan usaha milik negara (BUMN) sektor konstruksi adalah buah busuk dari proyek mercusuar pemerintah. Kondisi buruk ini konsekuensi dari penugasan perusahaan pelat merah menggarap proyek yang sebenarnya tak layak secara bisnis. Alih-alih bisa menggandeng mitra, mereka harus berutang ke sana-sini guna membiayai proyek-proyek ambisius itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu BUMN konstruksi yang tengah kritis akibat jeratan utang adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Demi melunasi kewajibannya, Waskita kini kelimpungan melego beberapa ruas jalan tol yang mereka garap. Pasalnya, utang Waskita akibat proyek jalan tol tak main-main: Rp 54 triliun hingga semester I 2021. Ini baru untuk proyek jalan tol, karena jika dihitung seluruhnya utang perusahaan itu mencapai Rp 90 triliun. Ironisnya, upaya penjualan jalan tol juga seret. Divestasi empat ruas jalan tol Waskita hingga September 2021 baru menghasilkan Rp 6,8 triliun, jauh di bawah kewajiban yang mesti dibayar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan cuma Waskita. Anak usahanya, PT Waskita Beton Precast Tbk, juga kena tulah penugasan pemerintah. Kini Waskita Beton gagal membayar utang-utangnya, termasuk dari obligasi yang mereka terbitkan, buntut dari macetnya pembayaran kontrak dari proyek jalan tol dan proyek infrastruktur lain yang mereka garap. Bursa Efek Indonesia menghentikan sementara perdagangan saham dan obligasi Waskita Beton karena perusahaan itu tak sanggup membayar bunga surat utang senilai Rp 2 triliun. Status perusahaan produsen beton ini kemudian dibekukan setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang akibat gugatan dari para kreditornya.
Kondisi serupa menimpa BUMN karya lain yang juga mengerjakan proyek-proyek penugasan. Pemerintah sudah beberapa kali mengucurkan penyertaan modal negara, tapi hal itu tak kunjung menjadi solusi. Walhasil, anggaran negara pada akhirnya menguap begitu saja karena lebih banyak dipakai menutupi utang dan menambal beban operasi, bukan untuk mendorong belanja modal atau pengeluaran lain yang sifatnya produktif.
Dalam laporan keuangan kuartal III 2021 terlihat kondisi BUMN karya yang tak sehat. Rasio utang terhadap ekuitas atau debt-to-equity ratio (DER) beberapa perusahaan sudah di atas 3. Misalnya PT Adhi Karya (Persero) Tbk memiliki DER 6,28 atau utangnya enam kali lipat dari ekuitas. Waskita Karya mencatatkan DER 5,7 kali lipat. Keduanya mencatatkan porsi utang jangka pendek yang tinggi. Indikator ini menunjukkan utang yang sudah jauh melampaui ekuitas dan menjadi indikator jika perusahaan-perusahaan itu amat bergantung pada pembiayaan utang. Tingginya rasio ini juga menjadi lampu merah, bahwa perusahaan-perusahaan itu bisa mengalami gagal bayar. Jika sudah begini, siapa lagi yang akan menanggung selain negara.
Adalah kewajiban pemerintah menyediakan infrastruktur untuk publik dan memang sudah seharusnya anggaran negara digunakan buat keperluan tersebut. Tapi bukan berarti pemerintah bisa sewenang-wenang membangun proyek-proyek mahal yang belum tentu dibutuhkan publik. Sudah saatnya Presiden Joko Widodo meninjau ulang proyek-proyek ambisius yang membebani BUMN. Jika dibiarkan berlarut, pada akhirnya rakyat juga yang akan menanggung beban tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo