Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah harus terus mendorong konsolidasi aset panas bumi yang terserak di beberapa BUMN demi pencapaian target bauran energi terbarukan.
Saat ini proses konsolidasi aset panas bumi terhadang perhitungan valuasi oleh PLN dan Pertamina, Kementerian Keuangan tak cepat mengambil keputusan.
Semua BUMN yang terlibat perlu berkolaborasi, bukan berkompetisi, dalam mengembangkan panas bumi demi mitigasi krisis iklim.
PEMERINTAH seharusnya tak menunda lagi konsolidasi aset-aset geotermal yang dioperasikan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pertamina (Persero). Pembentukan holding yang mengelola aset dua badan usaha milik negara ini adalah syarat mutlak pengembangan energi panas bumi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, rencana konsolidasi aset geotermal PLN dan Pertamina kini menemui jalan buntu. Kedua perusahaan milik negara itu belum sepakat dengan perhitungan valuasi aset yang akan digabungkan dalam satu holding baru. PLN berkukuh valuasi PT PLN Gas & Geothermal (PLN GG) yang akan dilebur di bawah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) lebih dari Rp 16 triliun. Sedangkan hasil penilaian yang dilakukan oleh Pertamina hanya separuhnya. Kabarnya Kementerian Keuangan juga menilai valuasi yang ditetapkan oleh PLN terlampau tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam skema yang ditetapkan pemerintah, PGE akan menjadi induk yang membawahkan PLN GG dan PT Geo Dipa Energi (Persero). Setelah konsolidasi selesai, pemerintah akan membentuk holding Indonesia Geothermal Energy, yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan kapasitas total 2.000 megawatt. Holding ini akan melanjutkan proyek-proyek pengembangan wilayah kerja yang digarap PGE, PLN GG, dan Geo Dipa Energi untuk mewujudkan sumber energi listrik panas bumi dengan kapasitas minimal 3.500 MW.
Selain soal valuasi, PLN tak mau melepas begitu saja asetnya ke dalam holding. Ada ketakutan jika pelepasan aset panas bumi yang bernilai besar bakal mengurangi kemampuan finansial PLN, terutama kemampuan membayar utang yang setiap tahun kian membengkak. Padahal, di sisi lain, valuasi yang terlalu tinggi akan membuat biaya untuk konsolidasi aset-aset ini membengkak. Nilai investasi pembentukan holding yang terlampau besar bakal mempengaruhi biaya pokok penyediaan (BPP) listrik oleh Indonesia Geothermal Energy. Tingginya BPP akan memaksa pemerintah merogoh anggaran subsidi yang lebih besar.
Kemacetan ini amat merugikan. Pengembangan potensi energi panas bumi yang sangat besar di Indonesia jadi makin tertunda. Selama ini, berbagai proyek panas bumi kerap kedodoran karena kesulitan modal. Jika Indonesia Geothermal Energy kelak terbentuk, minimnya investasi bisa diatasi. Berbagai BUMN besar yang memiliki saham di holding tersebut bisa menyatukan sumber daya untuk mengatasi masalah pembiayaan. Pembentukan holding yang mengoperasikan aset berskala besar juga meningkatkan daya tawar di mata investor dan lembaga pembiayaan.
Sudah saatnya Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan selaku “pemegang saham” utama perusahaan milik negara menyelesaikan persoalan yang menghambat konsolidasi aset panas bumi. Perbedaan perhitungan valuasi seharusnya bisa selesai di tangan auditor negara atau lembaga penilai independen sehingga prosesnya tak berlarut-larut. Jangan sampai ada kepentingan pihak lain, di luar kepentingan publik, yang ikut campur.
BUMN pengelola aset panas bumi juga sudah seharusnya menyingkirkan ego dan mencari solusi bersama. Untuk mewujudkan target pengembangan energi panas bumi, yang potensinya mencapai 23,9 gigawatt, sudah saatnya perusahaan-perusahaan ini berkolaborasi. Yang dipertaruhkan adalah ketersediaan energi terbarukan demi masa depan planet ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo