Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK mencokok Bupati Langkat karena diduga menerima suap proyek infrastruktur.
Dalam penangkapan Bupati Langkat terungkap praktik perbudakan dengan dalih rehabilitasi pecandu narkotika.
Terkesan dilindungi aparatur hukum.
TERBIT Rencana Perangin-Angin bisa disebut sebagai contoh sempurna "raja kecil" yang tumbuh setelah reformasi. Bupati Langkat, Sumatera Utara, ini ditengarai melakukan korupsi, kejahatan yang memang telah dilakukan ratusan kepala daerah lain. Namun ia pun memerintahkan kerja paksa yang, parahnya, dicari-carikan alasan pembenarannya termasuk oleh aparat penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Modus suap Terbit cukup lazim. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menangkapnya pada 18 Januari lalu, sang Bupati bersama saudaranya mengatur pelaksana berbagai proyek infrastruktur di wilayahnya. "Pemenang lelang" diwajibkan menyetor 15 persen nilai proyek. Sogokan lebih tinggi, yakni 16,5 persen, diwajibkan jika pemenang ditetapkan melalui mekanisme penunjukan langsung. Perkara ini menjadi luar biasa ketika petugas komisi antikorupsi menemukan kerangkeng di rumah Terbit yang menyerupai kamp perbudakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sel di rumah Terbit diklaim sebagai tempat "pembinaan pecandu narkoba". Penghuninya dipaksa bekerja di perkebunan sawit milik sang Bupati tanpa bayaran. Entah dari mana ia belajar terapi untuk penyembuhan ketergantungan pada zat adiktif ini. Yang jelas, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Langkat dari Partai Golkar ini tak memiliki tenaga kesehatan buat memantau kondisi "pasien" di rumahnya.
"Raja Kecil" dari Langkat ini tak sekadar menjalankan aji mumpung—ia mendapat tenaga kerja cuma-cuma untuk perkebunannya. Sebagai pemimpin daerah, ia telah mengkhianati rakyatnya, yang seharusnya dilindungi dari kejahatan semacam itu. Terbit dan anak buahnya mengeksploitasi kehidupan mereka yang disebut sebagai pecandu dengan mempekerjakannya sepuluh jam setiap hari tanpa libur.
Perbudakan modern di wilayah perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh ini bahkan direstui penegak hukum. Indikasinya, petugas Badan Narkotika Nasional Kabupaten Langkat sebenarnya telah mengunjungi sel-sel di rumah Terbit, lima tahun sebelum petugas Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap keberadaannya. Petugas lembaga tersebut tidak menganggap kerangkeng di rumah Bupati sebagai masalah, dan setelah itu mengabaikannya.
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal R.Z. Panca Putra Simanjuntak pun terkesan memberi alasan pembenar setelah perbudakan ini terungkap. Menurut dia, penjara pribadi itu didirikan atas "niat baik Bupati Langkat". Alih-alih memutihkan perbuatan pidana tersebut, ia seharusnya memeriksa anak buahnya yang bertahun-tahun mendiamkannya. Pemimpin Badan Narkotika Nasional pun perlu menyelidiki jajarannya yang telah merestui sel partikelir Bupati Langkat.
Terbit adalah wajah politik pemerintahan di banyak daerah. Setelah memenangi pemilihan, ia mengonsolidasikan kekuatan, lalu mengeruk dana negara untuk kepentingan pribadi. Perangkat-perangkat negara di wilayahnya, termasuk aparat penegak hukum, pun tak berdaya mengoreksi penyelewengan yang terjadi. Di situlah Terbit bisa leluasa menjalankan praktik perbudakan terselubung selama bertahun-tahun. Ia bahkan tidak dianggap sebagai pelaku kejahatan, melainkan pahlawan rehabilitasi korban kecanduan narkotik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo