Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peleburan semua lembaga riset ke dalam BRIN bisa menjadi malapetaka dunia penelitian.
BRIN menjelma ingin mengontrol semua penelitian di Tanah Air.
Kepentingan politik di belakang BRIN terlalu kuat setelah Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah.
PENGGABUNGAN semua lembaga penelitian pemerintah ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN mengindikasikan salah arah tata kelola dunia penelitian. Badan riset otonom, seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang semestinya didorong melakukan riset dan inovasi unggulan, malah dibubarkan dan dilebur ke dalam BRIN. Keputusan itu bisa mengakibatkan malapetaka bagi ilmu pengetahuan di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peleburan itu mengakibatkan banyak riset terancam macet. Penelitian Covid-19 dan Vaksin Merah Putih di Lembaga Eijkman tersendat karena BRIN menghentikan kontrak 71 peneliti yang berstatus honorer dan pegawai pemerintah non-pegawai negeri. Di masa pandemi seperti saat ini, pemerintah seharusnya mendukung penuh riset-riset untuk mencari metode deteksi Covid-19 yang efektif dan vaksin penangkal virus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga riset pemerintah lain sudah dilebur ke dalam BRIN, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).Total ada 39 lembaga riset yang dilebur ke dalam BRIN. Peleburan itu kabar buruk bagi para peneliti. Sejumlah peneliti pada Kapal Baruna punya BPPT diberhentikan membuat proyek ini terancam macet. Penelitian strategis lain, seperti pesawat nirawak Elang Hitam, juga terbengkalai karena alasan serupa.
Penggabungan semua lembaga riset dan penelitian pemerintah itu sebenarnya bukan solusi persoalan mandeknya penelitian nasional. Minimnya pendanaan dan dukungan swasta serta rendahnya kompetensi tenaga riset masih menjadi masalah fundamental. Dibanding negara ASEAN lain, dana penelitian Indonesia paling rendah. Pada 2020, misalnya, berkisar Rp 30 triliun atau 0,25 persen dari produk domestik bruto. Penggabungan memang menyatukan bujet yang sebelumnya tersebar di berbagai lembaga. Namun kemajuan riset dan penelitian tidak akan selesai dengan urusan anggaran saja. Apalagi status aparatur sipil negara membuat para peneliti lebih banyak berkutat pada hal-hal rutin. Kebebasan akademis yang diperlukan untuk menghasilkan penelitian-penelitian baru sulit diperoleh.
Politisasi adalah masalah BRIN sejak awal. Aroma politik begitu kental ketika terbit Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 yang melahirkan struktur Dewan Pengarah BRIN. Presiden Joko Widodo terkesan kuat menyediakan posisi ketuanya untuk Megawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Posisi Dewan Pengarah tak lazim dalam dunia riset, apalagi diisi politikus yang membuat lembaga riset dengan mudah diintervensi kepentingan politik.
Dari sisi aturan, Ketua Dewan Pengarah BRIN yang dijabat Ketua Dewan Pengarah BPIP juga prematur. Pejabat BPIP, yang lembaganya dibentuk melalui peraturan presiden, semestinya tak bisa menjadi pemimpin institusi yang lahir dengan payung undang-undang seperti BRIN. PDI Perjuangan dalam beberapa kesempatan mengklaim pendirian BRIN adalah gagasan Megawati agar “Indonesia bisa berdikari”—konsep yang didengungkan Sukarno di masa lalu. BRIN seharusnya tidak menjadi lembaga penampung kepentingan elite partai penguasa. Lembaga riset harus dibebaskan dari beban ideologi sehingga menjadi tempat bagi peneliti berpikir bebas.
Dalam hal peleburan, Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 yang menjadi dasar hukum juga prematur. Tafsir integrasi menurut ketentuan itu adalah peleburan lembaga riset. Ini melenceng dari Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang melahirkan BRIN. Menurut undang-undang tersebut, tugas BRIN membantu presiden menjalankan riset terintegrasi. Dalam bab penjelasan disebutkan “terintegrasi” adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan pelaksanaan penelitian. Sederhananya, tugas BRIN sebagai koordinator lembaga riset. Belakangan, BRIN seolah-olah ingin menjadi badan yang bisa mengontrol semua lembaga riset. Selain kemunduran riset nasional, fenomena tersebut berbahaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agar tata kelola riset tak makin amburadul, Jokowi harus merevisi peraturan yang mengatur peleburan dan keberadaan Dewan Pengarah. Senyampang itu, publik bisa mengajukan uji materi peraturan-peraturan tersebut ke Mahkamah Agung karena sudah menyimpang dari undang-undang di atasnya. Sepanjang aturan itu masih ada, lembaga riset rawan ditunggangi kepentingan politik dan menjadi lahan basah para pemburu rente.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo