Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memotong anggaran Dewan Kesenian Jakarta secara sepihak.
Negara harus berperan dalam perkembangan dan kelestarian seni dan budaya.
Sejumlah program kesenian terancam batal.
MOSI tak percaya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kepada Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mencerminkan buruknya perhatian pemerintah kota terhadap perkembangan seni dan budaya. Pemerintah Jakarta seharusnya lebih peduli dan lentur dalam memfasilitasi kegiatan kesenian masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat pleno pengurus DKJ pada pertengahan Desember 2021 menganggap pemerintah melanggar Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 4 Tahun 2020 tentang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. Pasal 20 peraturan gubernur memberikan kewenangan kepada DKJ untuk merancang pelbagai program pengembangan kesenian di Ibu Kota. Namun pemerintah provinsi secara sepihak mencoret berbagai program DKJ dengan alasan demi mematuhi birokrasi anggaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelagat mengecilkan peran DKJ terlihat sejak pemerintah Jakarta mengambil alih pengelolaan Taman Ismail Marzuki—pusat kesenian di Ibu Kota sekaligus kantor sekretariat DKJ—pada 2015. Hubungan kedua pihak meruncing setelah pemerintah provinsi tak lagi menanggung gaji 25 pegawai DKJ pada Oktober 2021.
Pemerintah Jakarta menganggap DKJ sebagai lembaga swadaya masyarakat. Dengan status itu, pemerintah kota tak mau lagi menanggung biaya operasional DKJ. Padahal, sejak Gubernur Ali Sadikin mendirikan DKJ pada 1968, roda organisasi ini terus berputar terutama berkat sokongan hibah dari pemerintah Jakarta.
Gubernur seperti Ali Sadikin tampaknya paham betul bahwa kota yang beradab memerlukan kegiatan seni dan budaya. Sedangkan para birokrat umumnya tak paham urusan kesenian. Karena itu, peran lembaga penggerak kesenian seperti DKJ perlu mendapat sokongan pemerintah. Lagi pula, untuk ukuran Jakarta yang anggaran daerahnya tembus angka Rp 80 triliun, hibah untuk DKJ sebetulnya tak seberapa. Pada 2020, misalnya, hibah untuk Dewan Kesenian hanya Rp 6,6 miliar.
Negara sudah seharusnya memfasilitasi kreativitas pada seniman dan budayawan. Ada banyak contoh negara yang mempraktikkan hal ini. Pemerintah Jerman, misalnya, membentuk Goethe-Institut untuk melestarikan kebudayaan dan kesenian hingga ke negara lain, termasuk Indonesia. Inggris melakukan hal serupa lewat British Council, yang sebagian besar anggarannya ditanggung pemerintah.
Di Jakarta, dukungan pemerintah kota atas kegiatan seni dan budaya lebih diperlukan. Sebab, pergelaran seni dan budaya kerap tak menguntungkan panitia. Biaya sewa gedung dan pajak yang tinggi, misalnya, acap menciutkan nyali para seniman untuk membuat acara. Berharap pada dukungan swasta? Itu lebih sulit. Panggung seni umumnya minim sponsor karena dianggap tak komersial.
Memang belakangan ini makin banyak kelompok seniman yang memanfaatkan ruang digital yang lebih murah. Sepanjang tahun lalu, banyak pertunjukan teater dan tari digelar di kanal YouTube atau platform berbayar lain. Teater Koma, misalnya, tetap produktif di masa pandemi Covid-19 dengan menyiarkan program monolog dari sanggar secara daring.
Namun pertunjukan di jagat maya sejatinya hanya cara para seniman untuk menjaga kreativitas di masa sulit. Kota yang beradab selalu memerlukan beragam aktivitas seni di alam nyata, tempat warga kota leluasa berinteraksi satu sama lain. Dukungan pemerintah kota menjadi keniscayaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo