Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Proyek pembangunan bendungan Bener menabrak aturan hingga melanggar konstitusi.
Pemerintah tak melakukan sosialisasi kepada penduduk yang akan terkena dampak proyek ini.
Contoh kesekian pembangunan yang mengabaikan prinsip keberlanjutan.
PROYEK Bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah, menambah panjang daftar pembangunan yang mengabaikan prinsip keberlanjutan. Demi rencana yang disebut proyek strategis nasional, pemerintah mengubah aturan, mengakali tata ruang, mengabaikan lingkungan dan masyarakat, bahkan melanggar konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek bendungan Bener seluas 365 hektare bakal menampung 32,67 juta meter kubik air untuk membasahi sawah lama dan rencana pembukaan sawah baru di sekitar Purworejo seluas 15.519 hektare. Untuk membangun dinding bendungan, proyek ini butuh 8,4 juta meter kubik batu andesit. Balai Besar Sungai Serayu-Opak, sebagai pelaksana proyek, menaikkan kebutuhan batu jenis itu menjadi 16,4 juta meter kubik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari analisis geologi, bukit-bukit di Desa Wadas mengandung 41 juta meter kubik batu andesit. Masalahnya, dalam tata ruang wilayah Purworejo, Desa Wadas tak masuk area pertambangan karena rawan longsor. Bukannya memindahkan pencarian batu andesit, pemerintah mengubah tata ruang sehingga desa berpenduduk 3.702 jiwa itu masuk area pertambangan.
Pengubahan tata ruang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Omnibus law ini mengizinkan pemerintah mengubah tata ruang wilayah sebuah lokasi untuk proyek strategis nasional. Hingga 2024, Presiden Joko Widodo telah menyetujui 201 proyek strategis untuk menyokong pertumbuhan ekonomi, termasuk bendungan Bener ini.
Persoalannya adalah Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan aturan sapu jagat itu tahun lalu. Mahkamah meminta pemerintah merevisi pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja dalam dua tahun dan melarang pelaksanaannya selama revisinya belum sah. Artinya, melanjutkan proyek bendungan Bener melanggar konstitusi.
Pemerintah pun tak melakukan sosialisasi proyek ini kepada masyarakat. Tak hanya kepada mereka yang lahannya akan terkena penambangan, juga kepada mereka yang lahannya akan menjadi bendungan. Di negara lain yang beradab, seperti Jepang, proyek sekecil apa pun akan dibicarakan dengan masyarakat yang terkena dampak sampai kedua belah pihak sepakat. Tak jarang kesepakatan hanya untuk beberapa pekerjaan buat menghindari dampak dan kerusakan lebih besar.
Cara-cara manusiawi ini pernah dipraktikkan Presiden Joko Widodo ketika ia menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah. Ketika hendak menata pasar, Jokowi meminta pedagang pindah. Tak seperti kepala daerah lain yang memakai kekerasan dan penggusuran, Jokowi sukses memindahkan mereka dengan mengajak bicara melalui 59 kali sarapan. Setelah menjadi presiden, ia tampaknya lupa dengan cara manusiawi itu.
Wajar bila sebagian besar masyarakat Wadas menolak bendungan Bener dan penambangan batu andesit. Mereka telah belajar dari pengalaman 1988 ketika terjadi tanah longsor hebat yang menewaskan lima penduduk. Tanpa penambangan sekalipun, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, struktur tanah di Wadas sangat labil.
Alih-alih mendengarkan suara penduduk Desa Wadas, pemerintah menurunkan polisi bersenjata lengkap. Aparat menangkap dan menahan mereka yang dianggap menghalangi pengukuran tambang. Tindakan represif itu tak layak digunakan di negara beradab.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo