Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Riwayat pertempuran dalam sebuah perang yang tak imbang: menumbuhkan semangat berjuang hingga mati.
Seperti Ukraina melawan Rusia yang mengingatkan pada pertempuran Persai di Yunani tahun 400 Sebelum Masehi.
Kemerdekaan yang perlu tekad memperjuangkannya itu selalu rapuh.
MARIUPOL, April 2022. Di kota pantai Ukraina itu, 2.000 orang marinir selama hampir dua bulan bertahan di lorong-lorong bawah tanah Pabrik Baja Azovtal. Mereka dikepung 20.000 tentara Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota luluh lantak. Tiap 10 menit pasukan Rusia menghantamnya dengan misil. Dari sebuah tempat rahasia, Wali Kota Mariupol mengabarkan sekitar 20.000 penduduk tewas. Dari pihak Rusia disiarkan sebagian tentara Ukraina menyerah. Rusia memaklumkan kemenangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi para prajurit di lorong-lorong bawah tanah itu tak juga hendak meletakkan senjata—juga setelah dua kali diberi batas waktu. Ini pertahanan kami terakhir, kata komandannya. Mereka siap mati. Keberanian adalah pertahanan terakhir mencegat rasa takut dan menaklukkan ketidakpastian.
Seperti di sebuah peristiwa di zaman dahulu kala....
Thermopylae, musim panas, 480 Sebelum Masehi. Celah yang terletak di antara pegunungan dan laut Yunani Kuno ini sempit, nyaris tak cukup buat dua kereta perang berpapasan. Tapi di sanalah, di jalur sepanjang 20 meter, di tebing yang miring tajam, sekitar 300 orang Yunani, dipimpin Leonidas, mengambil posisi, menghadang ribuan tentara Persia yang dipimpin Raja Agung Xerxes sendiri untuk menaklukkan.
Hari-hari itu suhu menyengat, 30 derajat Celsius. Merasa ia dengan mudah bisa menghabisi orang-orang Yunani di celah itu, Xerxes mengirim pesan. “Serahkan senjatamu!” Leonidas membalas dengan dua patah kata: molôn labe: “Kemari, ambil sendiri!”
Raja Persia pun memerintahkan penggempuran. Dua ribu prajurit menyerang 300 musuh yang berada di celah itu.
Pertempuran ternyata tak mudah. Orang-orang Yunani yang siap siaga di celah Thermopylae itu sekelompok hotpiles yang terlatih. Mereka berpengalaman, bukan anak-anak muda yang baru menginjak medan perang. Mereka bisa bertempur lincah dengan kaki tanpa sepatu; telapak mereka sudah biasa menempuh dataran keras. Senjata mereka tombak yang kukuh panjang.
Di atas semuanya, mereka telah melintasi batas hidup dan mati, batas kalah dan menang. Di pagi hari sebelum pertempuran Leonidas berkata, “Mari kita sarapan. Nanti malam kita akan bersantap bersama—di neraka.”
Beberapa jam kemudian mereka sambut pasukan Xerxes yang datang menyerbu—dan berhasil. Tentara Persia, yang bersenjata lembing pendek dan berdesak-desak dalam posisi terjepit, dengan mudah dibinasakan. Leonidas dan pasukannya berkibar. Meskipun tak lama.
Kelak akan tercatat, 17 Agustus tahun 480 Sebelum Masehi itu hari pertama pertempuran untuk eleutheria, untuk kemerdekaan—thema yang diulang Aeschylus dalam Persai, sebuah lakon yang dengan bersemangat memberi dasar ideologis ke dalam konflik besar kerajaan Persia melawan bangsa Yunani.
Dasar ideologis itu juga kita temukan dalam kitab sejarah Herodotus, yang ditulisnya sekitar 40 tahun setelah kejadian di Thermopylae. Seperti karya Aeschylus, historiografi Herodotus menggambarkan Persia sebagai pengusung tirani, sedangkan Yunani sebaliknya. Garis tegas yang dibuat bukan menang dan kalah, melainkan mulia dan nista, merdeka dan menghamba.
Leonidas dan semua teman seperjuangannya akhirnya tewas. Xerxes hari itu tak terbendung. Tapi apa yang mulia pada kekalahan Leonidas tak ada pada kemenangan Persia yang perkasa.
Yang mulia itulah agaknya yang membuat “pahlawan tak mati-mati”, jika kita pakai ungkapan penyair H.R. Bandaharo tentang pertempuran besar Stalingrad di tahun 1942-43, ketika Nazi Jerman menggempur kota itu. Jerman gagal, karena tentara dan rakyat Soviet, dengan darah dan mesiu, dengan ratusan ribu korban, bertahan. Kita tahu Uni Soviet akhirnya menang.
Juga tak mati-mati cerita keberanian di Thermopylae. Leonidas dikenang sejak berpuluh abad yang lalu, di mana-mana. Di Indonesia, Chairil Anwar menulis sebuah sajak pendek, “Malam”.
Mulai kelam
belum buntu malam,
kami masih saja terjaga
—Thermopylae?
—jagal tak dikenal?
tapi nanti
sebelum siang membentang
‘kami sudah tenggelam
hilang
Tapi, berbeda dari nada kagum dan memuja yang lazim ditulis, di baris-baris sajak Chairil kita rasakan sebuah situasi-di-perbatasan antara harapan dan tanpa-harapan. Malam “belum buntu” meskipun hari “mulai kelam”. Ada perasaan risau, gelisah (“kami masih saja terjaga”), karena sesuatu yang tak menentu. Tapi apakah ini justru saat untuk heroisme ala Leonidas, di tengah situasi antara hidup atau mati, to be or not to be? Tapi apa arti perlawanan jika ancaman yang harus dihadapi tak bisa diidentifikasikan (“jagal tak dikenal”)?
Di saat seperti itu, yang bergulat di batin bukanlah hasrat jadi mulia, bukan pula untuk memperlihatkan keberanian, melainkan proses yang tabah menunggu siang, ketika tahu “kami” sudah akan “tenggelam, hilang”—situasi yang nyaris disembunyikan dalam pelbagai cerita para pahlawan.
Yang orisinal pada sajak ini, yang ditulis pada 1945—tahun Perang Surabaya—ia meletakkan Thermopylae bukan sebagai aikon yang pasti. Thermopylae disebut dengan tanda tanya.
Tapi justru dengan itulah kita menyadari kemerdekaan selalu rapuh. Dengan kata lain, orang senantiasa perlu kehendak memperjuangkannya, merebutnya, atau mempertahankannya, baik di Yunani di zaman Sebelum Masehi maupun di Mariupol di abad ke-21.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo