Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah jangan menunda larangan truk ODOL.
Truk ODOL menyebabkan kenaikan angka kecelakaan dan korban jiwa.
Kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah akibat kerusakan jalan.
Kementerian Perhubungan jangan lagi menunda larangan operasi truk kelebihan muatan alias over-dimension over-load (ODOL) yang sudah sering kali diundurkan. Selain dasar hukumnya sudah jelas, truk ODOL jelas merugikan publik karena merusak jalan dan kerap memicu kecelakaan fatal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh aneh jika pemerintah berkali-kali menunda sanksi untuk operator yang mengoperasikan truk dengan beban berlebihan. Apalagi penundaan ini dilakukan demi mengakomodasi kehendak pengusaha dan operator, yang berdalih akan merugi jika larangan truk ODOL berlaku. Wibawa pemerintah dan penegak hukum menjadi taruhannya jika sanksi bagi operator truk ODOL kembali gagal berlaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal 169 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) mewajibkan pengemudi dan perusahaan angkutan memenuhi aturan tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan, serta kelas jalan. Pasal itu juga mengamanatkan pemerintah mengawasi kepatuhan terhadap aturan tersebut. Sanksinya, menurut Pasal 307 UU LLAJ, adalah penjara hingga 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu.
Tapi aturan ini bak macan kertas karena selama ini tak dipatuhi dan ditegakkan. Persoalannya, pemerintah yang cenderung akomodatif dengan dalih sopir serta operator angkutan tak mau mematuhi ketentuan ini. Mereka beralasan biaya angkut akan lebih mahal jika pemuatan barang harus sesuai dengan dimensi dan kapasitas truk atau mobil barang. Di lain pihak, para operator juga harus memenuhi kehendak para pemilik barang yang menghendaki biaya angkut murah dengan memuat barang melampaui kapasitas kendaraan.
Padahal mudarat truk ODOL bagi publik tak terbantahkan. Data Korps Lalu Lintas Kepolisian RI menyebutkan, pada 2021, jumlah kecelakaan akibat truk ODOL naik 97 persen dari tahun sebelumnya, dari 30 kasus menjadi 59 kasus. Kerugian materiilnya pun melonjak nyaris tiga kali lipat dari Rp 8,9 miliar menjadi Rp 22 miliar. Ini belum menghitung lonjakan jumlah korban jiwa yang mencapai 117 persen dari 12 orang menjadi 26 orang. Semua merupakan dampak dari sikap pemerintah yang menoleransi pelanggaran.
Karena itu, pemerintah jangan lagi memberi jalan bagi truk dengan muatan berlebih. Alasan soal kenaikan biaya angkut bisa jadi mengada-ada karena pengusaha cuma mengincar cuan dari kelebihan muatan. Sudah seharusnya pengusaha beroperasi secara legal dan menghitung biaya berdasarkan daya angkut kendaraan, bukannya memodifikasi bak atau boks truk agar bisa memuat barang berlebih. Apalagi bila dihitung dengan saksama, pengusaha bisa jadi merugi karena truk atau mobilnya lebih cepat rusak jika terus dipaksa memuat barang melebihi kapasitas.
Pemerintah juga harus menutup celah pelanggaran dari hulu hingga hilir. Pengawasan standar produksi perusahaan karoseri kendaraan menjadi penting untuk mencegah maraknya angkutan ODOL. Perangkat pengawasan yang sudah lama diabaikan, seperti jembatan timbang, harus kembali dioptimalkan demi mencegah operasi truk ODOL. Di sini, Kementerian Perhubungan dan kepolisian harus melakukan bersih-bersih. Bukan rahasia lagi bahwa para petugas di lapangan menerima suap dari sopir agar kendaraannya lolos dari pengawasan.
Yang tak kalah penting adalah pembaruan aturan agar bisa menimbulkan efek jera. Sanksi dalam UU LLAJ boleh jadi terlalu ringan sehingga sering kali dilanggar. Sudah saatnya para pelanggar ketentuan truk ODOL mendapat sanksi berat karena, selain membahayakan keselamatan umum, membebani negara Rp 43 triliun setiap tahun lantaran harus memperbaiki jalan yang rusak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo