Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo makin menyingkirkan pentingnya kabinet zaken guna menciptakan pemerintahan yang efektif. Hingga menjelang akhir kepemimpinannya, ia mengisi kursi para pembantunya atas nama bagi-bagi kekuasaan. Pengisian kursi menteri yang diumumkan pekan lalu bahkan terkesan dilakukan demi memperkuat posisi politiknya menghadapi pemilihan presiden tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara sadar melakukan “cawe-cawe” dengan dalih kesinambungan pembangunan, Jokowi berusaha menjadi kingmaker. Ia berayun di antara dua kandidat: Prabowo Subianto yang disorongkan Partai Gerindra dan Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan. Ia memberi tanda-tanda kepada publik tentang preferensinya pada Prabowo dalam beberapa pekan terakhir. Kecenderungan itu menguat pada saat ia menunjuk Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Ketua Umum Projo—salah satu relawan Jokowi—itu dikabarkan memberikan dukungan buat Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Arie bisa jadi akan menjadi perpanjangan tangan Jokowi dalam menjalankan permainan politiknya. Ia ditunjuk menjadi menteri mengisi kursi yang ditinggalkan bekas Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Johnny G. Plate. Johnny terjerat kasus korupsi base transceiver station atau BTS. Presiden juga menyerahkan posisi Wakil Menteri Desa, yang ditinggalkan Budi, kepada Paiman Raharjo. Paiman Ketua Umum Sedulur Jokowi yang mendukung mantan Wali Kota Solo itu sejak pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012.
Konsolidasi kekuatan relawan setelah diberikan gula-gula ini jelas menaikkan daya tawar Jokowi di hadapan partai-partai. Penunjukan Budi Arie dilakukan di tengah perseteruan Jokowi dengan PDI Perjuangan. Posisi Budi sangat strategis untuk menyokong strategi politik Jokowi. “Gebrakan” pertama Budi setelah dilantik, misalnya, adalah rencana membentuk tim pengawas media sosial. Meski kelihatannya normatif, rencana itu bisa digunakan untuk menyingkirkan suara-suara kritis, yang mungkin saja mengganggu hasrat politik sang patron.
Peran relawan dalam kemenangan Jokowi pada dua pemilihan presiden memang signifikan. Mereka menggalang dukungan di berbagai wilayah dan menambah pundi-pundi suara Jokowi. Hubungan relawan dengan Presiden tak lantas berhenti setelah pemilu usai. Jokowi malah memanfaatkan relawan sebagai kekuatan politik di luar partai dengan memberi kesempatan mengajukan calon presiden dan wakil presiden melalui acara musyawarah rakyat. Nama calon yang diajukan organisasi kemasyarakatan itu tentu tak melenceng dari keinginan Jokowi.
Pelantikan Budi Arie Setiadi dan Paiman Raharjo juga memberi sinyal kepada para relawan Jokowi: mereka yang berada di belakang Presiden akan terus mendapat gula-gula politik. Model relasi ini sesungguhnya tak patut terjadi. Relawan yang masuk lingkaran kekuasaan pastilah hanya akan menjadi boneka presiden. Kumpulan menteri saat ini pun makin jauh dari format kabinet zaken—diisi oleh para ahli dan bukan representasi kekuatan politik tertentu. Dengan waktu pemerintahan Jokowi sekitar 15 bulan lagi, harapan agar Kabinet Indonesia Maju bisa bekerja profesional dan maksimal hanya mimpi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gula-gula Pengisian Kabinet"