Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMI bertemu dengan Marlina di rumahnya di Sanggau, Kalimantan Barat—satu setengah jam penerbangan dari Jakarta dan lima jam perjalanan darat. Dia menjelaskan kesulitan hidup sejak perusahaan perkebunan sawit mengambil alih sebagian besar lahan desa. Emaknya dulu, seorang janda, memiliki sebidang kecil kebun karet yang disadap secara harian sebagai sumber penghasilan. Untuk kebutuhan makan sekeluarga, ia juga menanami kebun itu padi dan sayuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat perusahaan sawit datang, kepala desa memaksa Emak Marlina menyerahkan kebunnya dengan janji akan ditukar satu kaveling kebun kelapa sawit di tempat lain sebagai ganti rugi. Namun Emak Marlina gigit jari karena setelah menyerahkannya kepala desa menjual kebun itu kepada orang lain. Ia sungguh merasa dikhianati, tapi tak mampu berbuat apa-apa. “Sekarang semua jadi milik perusahaan. Kami hanya tunggu perintah mereka sambil berharap mudah-mudahan perusahaan memberi kerja,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kadang-kadang perusahaan sawit memang menyediakan pekerjaan penuh waktu. Tapi pekerjaan jenis ini biasanya diberikan kepada pekerja migran dari provinsi atau pulau lain. Sementara itu, bagi orang Melayu dan Dayak setempat, seperti Marlina, perusahaan hanya menyediakan pekerjaan harian lepas. Marlina memakai upahnya yang kecil untuk membeli beras dan lauk seadanya, karena harga sayur dan ikan dari pedagang keliling terlalu mahal. Lembaga desa yang biasanya menjadi pelindung warga miskin juga lepas tangan dan mereka pun telantar tanpa jalan keluar.
Hidup Marlina adalah cerita tipikal di desa-desa yang dikepung perkebunan sawit di Indonesia. Berbeda dengan apa yang dialami Marlina dan mungkin jutaan orang yang senasib dengannya, pemerintah dan industri sawit justru mengklaim perluasan perkebunan telah membuka lapangan pekerjaan dan menggerakkan pembangunan di daerah terpencil.
Saat ini industri sawit terbentang di atas lahan sekitar 16 juta hektare, yang mencakup kebun inti yang dikelola perusahaan dan plasma oleh petani. Sebelum menjadi kebun sawit, lahan itu diolah secara turun-temurun oleh warga desa seperti Marlina untuk bertani dan mengumpulkan hasil hutan. Klaim pemerintah dan industri atas pembukaan lapangan pekerjaan serta pembangunan desa hanya berlaku bagi elite kampung dan beberapa petani yang sejak awal sigap bersekutu dengan perusahaan. Ada banyak petani kecil yang justru kehilangan segalanya setelah kedatangan industri sawit.
Perkebunan sawit rata-rata mempekerjakan satu pekerja per lima hektare di kebun intinya, total menghasilkan sekitar 2 juta lapangan kerja. Bagi beberapa orang, bekerja di industri sawit memang bagus. Tapi jumlah pekerjaan seperti ini makin sedikit dan jadi cerita masa lalu. Perusahaan makin banyak mengganti pekerja tetap dengan pekerja lepas. Harapan Marlina untuk mendapat pekerjaan pun sering sia-sia.
Perkebunan di Indonesia memiliki sejarah panjang yang penuh masalah. Sejak zaman kolonial, pemerintah melegitimasi penanaman modal asing di perkebunan dengan mengedarkan dongeng, yang disebut sejarawan Syed Hussein Alatas, sebagai “mitos pribumi malas”. Dongeng itu menggambarkan petani tak bisa membudidayakan komoditas untuk pasar dunia, seperti sawit. Karena itu, pengelolaannya harus diserahkan kepada industri. Kenyataannya, selama 300 tahun, petani Indonesia menjadi pembudi daya tanaman pasar untuk kebutuhan global, seperti kopi, kakao, kelapa, dan karet secara efisien dan penuh semangat.
Efisiensi petani terjadi karena mereka tidak membutuhkan staf administrasi, manajer, dan penjaga kebun. Kelenturan usaha serta biaya kerja yang rendah membuat petani lebih mampu bertahan saat harga jatuh. Petani juga mempekerjakan pemanen sawit, para tetangga mereka sendiri, dengan upah yang baik dan perlakuan manusiawi. Bandingkan dengan pekerja di perusahaan perkebunan yang menyebut diri mereka “selembar kain tua”, yang dibuang saat tak lagi berguna.
Kami mendengar “mitos pribumi malas” dengan fasih diulang oleh para pejabat pemerintah, manajer perkebunan, dan pekerja pendatang di perkebunan sawit di Sanggau. Dengan yakin mereka mengatakan bahwa, sebelum perusahaan datang, petani Dayak dan Melayu kaum tertinggal. Namun wacana mereka keliru. Sejak dulu para petani Dayak dan Melayu sudah produktif. Lumbung mereka penuh padi, sumber pangan beragam, dan mereka menikmati penghasilan yang lumayan dari ratusan ton karet yang setiap bulan dikirim ke hilir. Selain itu, sistem pertanian mereka bisa menahan serangan hama dan menjaga keanekaragaman hayati.
Saat penelitian dilakukan, yang hasilnya dibukukan dalam Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit (Marjin Kiri, 2022), kami menyaksikan banyak petani yang ingin menambah sawit ke daftar tanaman komoditas mereka. Namun sebagian besar lahan di kecamatan mereka telah diduduki perusahaan. Petani yang masih memiliki lahan menolak jadi plasma yang akan mengikat mereka dengan perusahaan secara tidak adil. Mereka ingin bisa bertani secara mandiri sehingga punya kuasa mengatur kebun dan nasib mereka sendiri.
Para petani berhitung mereka bisa hidup berkecukupan dengan memiliki 6 hektare kebun sawit: 2 hektare untuk nafkah keluarga, 2 hektare untuk biaya kebun, dan 2 hektare sebagai investasi pendidikan anak. Kami menemukan bahwa baik petani transmigran maupun petani setempat bisa hidup sejahtera dari sawit dan berdampingan secara harmonis selama pranata sosial dan moral desa masih berfungsi. Hanya, sekarang ini keduanya dijungkirbalikkan oleh perusahaan dan kaki tangan mereka. Akibatnya, hubungan sosial di desa menjadi labil dan jauh dari keadilan.
Sejak zaman kolonial, jalur pembangunan Indonesia telah menguntungkan perusahaan perkebunan dengan memberi mereka konsesi lahan luas nyaris secara cuma-cuma, meskipun sebenarnya tidak ada alasan agronomis yang membuat perkebunan unggul. Teknologi kerja di perkebunan sangat sederhana. Sawit bisa dipanen di lahan luas atau sempit. Karena itu, petani lebih mampu menangani urusan ini. Memang akses ke pabrik pengolah minyak bisa menjadi tantangan, tapi di Thailand—yang 80 persen kelapa sawitnya ditanam petani mandiri—problem akses ini terselesaikan.
Di Thailand, pemerintah memberi dukungan kuat kepada petani sawit mandiri. Kebijakan tersebut berangkat dari kepercayaan bahwa petani kecil adalah manusia yang cakap dan rajin. Pemerintah Thailand menghormati otonomi para petani dengan tidak mengacaukan akses ke lahan mereka masing-masing. Pemerintahnya juga menyerahkan penghitungan jumlah pokok sawit yang akan ditanam serta luas kebun yang dicadangkan untuk padi, karet, dan tanaman lain kepada para petani sendiri.
Sebaliknya, di Indonesia, program untuk mendukung petani justru memaksa mereka menandatangani kontrak dengan perusahaan yang monopolistik, menyerahkan kendali atas lahan dan kegiatan tani kepada perusahaan, serta menanggung kredit besar yang tidak transparan. Mereka juga dipaksa bergabung dengan koperasi yang disponsori oleh perusahaan. Saat ini program tersebut dikenal dengan istilah sistem “satu atap”, dengan “atap” yang dibangun dan dikuasai oleh perusahaan yang menentukan semua syarat dan aturan.
Kebijakan Indonesia kini berfokus pada penerapan standar agar perusahaan perkebunan lebih bertanggung jawab dan akuntabel. Masalahnya, perusahaan yang bertanggung jawab sekali pun tetap seperti raksasa: menduduki terlalu banyak ruang. Jika pemerintah mendukung petani dengan bibit unggul, sarana produksi, pelatihan, dan akses ke pabrik pengolahan minyak skala kecil, para petani bisa menyediakan lapangan kerja bagi mereka sendiri serta mewujudkan pembangunan dengan jalan yang mereka pilih.
Hakikat kemerdekaan adalah keleluasaan menentukan sendiri jalur pembangunan—semangat mandiri yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia. Petani sawit Indonesia adalah manusia cakap. Mereka tidak ingin dan tidak perlu dikendalikan oleh perusahaan. Mereka bisa makmur asalkan ditempatkan dalam hubungan kerja yang adil, agar cerita seperti Marlina di Sanggau tak terus berulang di seluruh wilayah negeri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis bersama Pujo Semedi, antropolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.