Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESEHATAN adalah hak asasi manusia. Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri, dan keluarganya. Konsep universal hak asasi manusia ini diserap dan tertuang dalam konstitusi Indonesia, yakni pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 versi amendemen, yang berbunyi: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tahu konstitusi menjadi pedoman hidup bernegara. Dalam sistem negara modern, konstitusi menjadi kiblat segala regulasi sehingga aturan-aturan di bawahnya tak boleh bertentangan. Ia menjadi payung hukum pelbagai regulasi yang mengatur hajat hidup orang banyak dalam sebuah negara. Dari cara pandang ini, seharusnya, pelbagai aturan yang dibuat penyelenggara negara mengacu sepenuhnya pada konstitusi. Di Indonesia, konstitusi itu adalah Undang-Undang Dasar 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, kini ada gejala yang menguat bahwa pelbagai aturan turunan konstitusi terkesan dibuat dengan secara sengaja menabrak acuan dasar itu. Ada banyak undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang bertentangan dengannya. Salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang hendak disahkan Dewan Perwakilan Rakyat.
RUU Kesehatan itu menggabungkan 10 undang-undang yang dibuat memakai metode omnibus—satu cara menyusun regulasi yang menjadi tren di masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di luar soal prosesnya yang tertutup dan tak transparan—satu cara yang seharusnya tak ada dalam negara demokratis—RUU Kesehatan menabrak konsep dasar pembuatan regulasi yang akan berdampak panjang dan memukul hak kesehatan setiap warga negara Indonesia.
Sesuai dengan namanya, omnibus RUU Kesehatan seyogianya mengatur peran negara dalam melindungi kesehatan sebagai hak setiap warga negara terhindar dari segala penyakit dan penderitaan. Sebagai hak asasi, kesehatan semestinya ditempatkan sebagai hak yang berimplikasi kewajiban penyelenggara negara untuk memenuhinya. Karena itu, hubungan hak dengan kewajiban dalam urusan kesehatan ini tak bisa ditawar sedikit pun dalam RUU Kesehatan.
Apa yang tak bisa ditawar itu rupanya tak dipenuhi oleh RUU Kesehatan. Pengaturan-pengaturan perlindungan kesehatan dalam draf omnibus jauh dari formula pemenuhan hak bagi setiap orang. Lihat saja pasal 151 ayat 3. Pasal ini berbunyi: “Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf f wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok”.
Pasal itu merevisi pasal 113 dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Dalam regulasi ini, tembakau dan produk tembakau dimasukkan kategori zat adiktif. Jadi penggunaannya diarahkan tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, serta lingkungan. Dampaknya, produk yang mengandung zat adiktif harus dikendalikan dalam hal produksi, distribusi, dan promosinya. Maka pasal 151 ayat 3 dalam omnibus RUU Kesehatan menganulir konsep dasar pengaturan produk yang bisa menabrak konstitusi kita. Pasal ini dengan telanjang menentang gagasan kesehatan sebagai hak asasi setiap warga negara.
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa produk tembakau, seperti rokok, mengandung 4.000 zat kimia yang membahayakan kesehatan. Karena itu, ia tak hanya berbahaya bagi pengisapnya, malah jauh lebih berbahaya bagi mereka yang terpapar. Asap rokok yang terbawa udara akan mencemari lingkungan dan udara yang terhirup oleh siapa saja, termasuk mereka yang tak merokok.
Maka, jika ditinjau lebih jauh, melegalkan rokok sebetulnya mencederai hak sehat untuk setiap orang. Sebagai barang legal, konsumsi rokok menjadi hak setiap orang. Setiap dari kita bebas mengisapnya. Masalahnya, hak setiap individu terbatas oleh hak individu lain. Jika merokok adalah hak setiap orang—karena tak melanggar hukum—maka hak ini terbatasi oleh hak orang lain yang tak ingin terpapar dan terkena penyakit akibat menghirupnya.
Dengan begitu, dalam hubungan hak ini, mereka yang bukan perokok jelas akan rugi. Sudah banyak penelitian menunjukkan bahwa tidak ada batas ambang aman dari paparan asap rokok. Mereka harus menanggung paparan asap rokok dan dampaknya dari segi kesehatan. Mereka yang bukan perokok akan kena getah meski tak memakan nangkanya. Jika dampaknya pada kesehatan mengakibatkan biaya pengobatan, aktivitas legal merokok jelas menimbulkan ketidakadilan.
Bayangkan, dalam ruang publik ada anak-anak, perempuan, dan kelompok rentan yang terpaksa mengisap atau terpapar asap rokok yang membahayakan kesehatan mereka. Atau para pekerja di ruang-ruang publik itu yang terpaksa menjadi perokok pasif. Siapa yang bertanggung jawab pada pengobatan mereka jika sakit? Pasti bukan para perokok. Dari sini merokok jelas tindakan yang merugikan mereka yang bukan perokok. Karena itu, penyediaan ruang merokok yang diwajibkan dalam RUU Kesehatan mendorong ketidakadilan.
Ada survei yang menunjukkan sebanyak 80 persen responden perokok ingin berhenti. Jika kita sepakat pada temuan ilmiah bahwa rokok membahayakan kesehatan, yang dibutuhkan untuk mendukung dan mewujudkannya adalah mempersempit area merokok.
Dengan berbagai hubungan sebab-akibat seperti itu, seharusnya negara menengahinya bukan dengan mewajibkan pemilik tempat-tempat keramaian menyediakan tempat merokok, justru seharusnya melarang mereka membangun tempat-tempat khusus merokok. Pemenuhan hak asasi setiap orang adalah tugas utama para penyelenggara negara yang menjadi ciri negara-negara beradab di era modern.
Di mana negara berperan dan menempatkan diri dalam posisi itu? Regulasi semestinya mengatur irisan hak merokok dan hak tidak terpapar asap rokok yang sama-sama legal itu. Dari konsep ini, kewajiban menyediakan tempat merokok sepertinya mengakomodasi gagasan yang adil itu. Namun sesungguhnya ini gagasan yang “prismatik”. Dalam gelas prisma kita melihat garis yang lurus, padahal sesungguhnya bengkok. Karena itu, menyediakan ruang merokok di tempat kerja, kantor, atau ruang publik seolah-olah tindakan yang benar dan adil, padahal sebaliknya. Sebab, kewajiban menyediakan tempat merokok sama halnya menjunjung hak buruk seraya mengabaikan hak baik setiap orang yang tak ingin terpapar asap rokok.
Karena itu, kata “wajib” dalam pasal 151 ayat 3 omnibus RUU Kesehatan tak hanya tak patut secara moral, tapi juga melanggar konstitusi, bahkan melanggar hak asasi, yakni hak sehat dari paparan sumber penyakit. Apalagi kata “wajib” di pasal ini berimplikasi pada sanksi. Para pemilik kantor, tempat kerja, dan ruang publik yang tak menaatinya akan mendapatkan hukuman karena dianggap melanggar aturan. Padahal mereka yang tak menaati perintah pasal itu justru sedang melindungi hak paling asasi orang lain.
Bagaimana bisa regulasi negara menghukum seseorang yang justru ingin melindungi hak asasi setiap orang dan menegakkan konstitusi? Hanya peradaban purba yang menyediakan aturan formal untuk menghukum mereka yang berbuat benar dan secara bebas menjalankan hak privasi di tempat umum, seperti Firaun yang memerintah Mesir 3.000 tahun lalu. Firaun memerintahkan siapa saja membunuh anak laki-laki karena khawatir mereka kelak merongrong kekuasaannya.
Walhasil, hanya di negara-negara otoritarian sebuah regulasi dibuat untuk menghukum mereka yang berjasa melindungi hak asasi manusia. Indonesia sedang belajar menuju negara modern yang demokratis. Ciri negara demokratis adalah memiliki konstitusi yang adil dan mengutamakan hak-hak setiap orang sebagai modal sosial bernegara. Pasal 151 dalam RUU Kesehatan mengembalikan masa depan kita ke zaman otoriter yang mengabaikan hak asasi dengan secara telanjang melanggar konstitusi.
Jika rokok membunuhmu, seperti tertera di bungkus-bungkus rokok, kata “wajib” membuat tempat khusus merokok dalam RUU Kesehatan adalah perintah negara kepada setiap orang membangun ruang-ruang pembantaian massal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis bersama Rika Fonsekaningrum, pemerhati kesehatan masyarakat. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kata Wajib yang Mematikan"